Visi Kemaritiman dan Sumpah Pemuda

Visi Kemaritiman dan Sumpah Pemuda

Oleh : Sampe L. Purba

Dalam ilmu geopolitik, suatu Negara adalah ibarat organisme hidup yang memerlukan ruang,  daerah pengaruh/ frontier, politik kekuatan dan keamanan bangsa (lebensraum – F Ratzell).  Doktrin penguasaan lautan berkembang pada abad ke lima belas, yang ditandai dengan penjelajahan Columbus dari Spanyol, angkatan laut  Inggeris dan kemudian oleh Amerika Serikat.

Kemaritiman  memerlukan totalitas, dan  visi politik yang kuat.  Inggeris sebagai  Super Power Maritim kedua setelah Spanyol  menguasai seantero jagad dengan semboyan England rules the waves, merosot pengaruhnya di pertengahan abad ke dua puluh, ketika  armada lautnya tidak mampu lagi menopang imperiumnya. Sebagai Negara dengan doktrin kemaritiman, Inggeris masih berusaha mempertahankan sisa-sisa hegemoninya dengan tetap menguasai pulau  di koridor sempit  Atlantik – Laut Tengah, ujung selatan Afrika,  ujung selatan anak benua India, hingga kepulauan Malvinas di ujung selatan Benua Amerika. Semua  Itu dipertahankan mati-matian sebagai bagian dari doktrin mempertahankan kehidupan organisme negara. At any cost ! (ingat perang Malvinas 1982)

Visi kemaritiman Amerika Serikat, banyak dipengaruhi oleh pandangan Laksamana AT Mahan – Mantan Gubernur Sekolah Staf dan Komando Angkatan Laut  (US Naval War College) yang menulis buku “The influence of Sea Power”, pada tahun 1890.  Amerika Serikat yang secara geografis terpencil di antara Lautan Pasifik dan Lautan Atlantik, untuk dapat unggul di kedua palagan tersebut memerlukan armada perang yang cukup dan masif untuk mengamankan jalur logistik perang maupun perdagangan, operasi intelijen, penggelaran pasukan, surveilance dan intelijen serta deterrence factor lainnya.  Itu sangat mahal. Sehingga Amerika disamping pendekatan hard power juga menjalankan strategi soft power untuk memastikan dominasi dan keunggulan hegemoni lautnya.

Amerika Serikat mendesain dan memastikan  seluruh hukum dan peraturan di laut sejalan dengan kepentingan Nasional Strategisnya. Misalnya dalam UNCLOS 1982  (Konvensi Hukum Laut ), dinyatakan bahwa Negara Kepulauan seperti Indonesia harus membuka dan menjamin sebagian jalur laut teritorialnya secara bebas dan damai dapat dilalui oleh armada perang dan kapal dagang asing. Laut di luar zona ekonomi ekslusif merupakan laut bebas (high sea). Armada Perang Amerika dapat lego jangkar atau berpatroli di laut bebas. Negara-negara yang memiliki jalur perairan laut sempit (choke points) seperti Selat Malaka, selat Hormuz atau selat Turki dalam rangka memastikan keamanan jalur harus membuka diri kepada protokol dan kerja sama Internasional. Hal ini dimaksudkan agar Negara-negara lain tidak perlu harus membangun kekuatan armada sendiri, yang potensial merupakan ancaman bagi supremasi kemaritiman Amerika.

Pendekatan smart dan soft dilakukan melalui jalur organisasi. Organisasi Maritim Internasional (IMO) misalnya. Badan ini memiliki kewenangan mutlak bak Laksamana Raja Dilaut.  Pelayaran dalam perdagangan internasional, harus sesuai dengan standar praktek tertinggi dalam kaitannya dengan keselamatan kemaritiman, efisiensi navigasi dan pencegahan serta pengendalian polusi biota laut dari kapal. Sertifikasi teknis kelaikan kapal, awak pelayaran, muatan, hukum asuransi dan sebagainya berkiblat ke sana. Ini merupakan creative barrier yang tidak memungkinkan negara-negara kecil untuk merubah keseimbangan dominasi penguasaan laut . Industri manufaktur, barang dan jasa di Amerika Serikat dan Inggeris berkembang dan dikembangkan sesuai dengan visi kemaritimannya.

Bagaimana dengan visi kemaritiman Indonesia?

Sebagai negara maritim yang memiliki 17.000an pulau, dan 2/3 wilayahnya merupakan lautan, serta memiliki perbatasan laut dengan  10  Negara,  apa visi kemaritiman kita. Visi tersebut akan tergambar dalam  paradigma politik, ekonomi, sosial budaya dan pertahanan keamanan yang berbasis kelautan.  Pada masa orde baru berdasarkan KepPres No. 77 tahun 1996 terdapat Dewan Kelautan Nasional yang merumuskan kebijakan pemanfaatan, pelestarian, perlindungan serta keamanan laut, namun sifatnya adalah koordinatif dan tidak memiliki kewenangan komando. Saat ini Indonesia memiliki sekitar 17 instansi,  Kementerian dan Lembaga yang mengurusi kelautan, namun masing-masing memiliki prioritas, kewenangan  dan anggaran sendiri-sendiri.

Mangindaan (Forum Kajian Pertahanan dan Maritim, 2011) mengatakan bahwa domain maritim terkait dengan beberapa aspek, yaitu; (i) fisiknya, (ii) kegiatan mengelola fisiknya, (iii) aturan mengenai penggelolaannya, dan (iv) budaya pengelolaannya. Apabila dipetakan dalam kepentingan berbangsa dan bernegara, maka domain maritim ada aspek politik, ekonomi, sosial, dan militer, dengan bobot yang sangat kuat dijadikan drivers untuk mengembangkan kepentingan nasional. Pengelolaan kemaritiman meliputi aspek administrasi kepemerintahanan, keilmuan dan teknologi kemaritiman, serta industri barang dan jasa penunjang kemaritiman.

Kemaritiman adalah totalitas. Di Amerika Serikat, urusan kemaritiman (di luar tentara) berada di bawah sistem satu komando satu organisasi, yaitu US Coast Guards. Hal ini untuk menjamin keterpaduan dan integrasi sistem pengelolaan kelautan dan meminimalisir ego sektoral.  Pertanyaannya seberapa jauh saat ini kebijakan pembangunan, politik maupun pertahanan keamanan kita telah berbasis kelautan ?  Indikator sederhana  pembangunan berbasis kelautan adalah adanya pusat-pusat riset dan universitas kelautan yang menyebar di seluruh Indonesia, pengembangan kawasan ekonomi di perbatasan pulau terluar dan terdepan,  ketersediaan sarana pelabuhan, kapal, industri galangan, meningkatnya kontribusi sektor kemaritiman ke pembangunan dan perekonomian nasional, serta penyesuaian doktrin dan postur pertahanan ke basis kelautan.

Sumpah Pemuda, menekankan TANAH AIR satu, bukan hanya TANAH satu. Air atau laut adalah alat penghubung antar pulau, bukan alat pemisah. Indonesia adalah negara maritim, negara bahari. Konektivitas infrastruktur kelautan merupakan suatu keniscayaan. Itulah esensi Archipelagic states yg diklaim dan dimaksudkan dalam Coastal Countries dan diakui oleh UNCLOS (United Nations Convention Law Of Sea).

Sudahkah hal ini terefleksi dalam Kebijakan Pembangunan Nasional kita ?

Jakarta,         Oktober 2013