Perubahan paradigma dalam menyikapi globalisasi sosial budaya untuk kejayaan Indonesia

Perubahan paradigma dalam menyikapi globalisasi  sosial budaya untuk kejayaan Indonesia

Sampe L. Purba

  1. a.                  Latar Belakang

Bangsa Indonesia termasuk bangsa yang sejarah dan tradisi kebudayaannya dibandingkan dengan negara negara lain masih muda. Namun demikian, bangsa Indonesia telah berhasil digembleng dengan character building yang kuat oleh para founding fathers untuk membanggakan dan menghargai kebudayaannya pada posisi yang sejajar tegak dengan bangsa-bangsa lain.  Kebanggaan atas warisan budaya, di satu sisi adalah kekuatan bangsa. Namun demikian,  di sisi lain hal ini harus disikapi dengan hati-hati agar tidak tergelincir dengan nasionalisme semu yang terlalu mengagungkan budaya sendiri sehingga menolak untuk melihat apalagi mengakui bahwa banyak pelajaran berharga yang dapat dipetik dari budaya bangsa-bangsa lain.

Bangsa Indonesia dalam tata pergaulan dunia harus tetap terbuka dan dapat menerima dinamika kehidupan sosial budaya masyarakat Internasional, dengan interaksi yang akan saling mempengaruhi. Kemampuan untuk beradaptasi dan saling  mempengaruhi tersebut merupakan indikator kedewasaan suatu bangsa dalam tata pergaulan internasional.

  1. b.                  Pembahasan

1). Beban kebesaran sejarah masa silam

Kebesaran dan keagungan budaya masa silam Indonesia sering disampaikan oleh para sejarawan dengan menunjuk kepada peninggalan kerajaaan Nusantara jaman dulu seperti candi Borobudur yang dibangun pada tahun 824 M[1], pada periode yang hampir sama mulainya peradaban kuno di Inggeris[2].  Tetapi kenyataan lanjutannya, ketika Inggeris sudah menjelma menjadi negara besar dan kuat, serta sistem hukum[3] dan bahasanya “diwakafkan” menjadi salah satu alat pemersatu peradaban manusia, posisi Indonesia dalam tata pergaulan dunia hampir tetap stagnan, yang antara lain dapat dilihat dari Human Development Index. 

Human Development Index (HDI)[4] adalah salah satu  indikator pembangunan manusia seutuhnya, yang merupakan perbandingan komparatif dari  indeks harapan hidup, pendidikan, melek aksara,  penghasilan, standar dan kualitas hidup antar bangsa.  Pada tahun 2012 Indonesia hanya berada pada urutan 121 dari 193 negara, jauh di bawah Palestina (urutan 110) atau Malaysia urutan 64. Sementara itu berdasarkan soft power index, yakni  suatu index yang ditemukan oleh Joseph Nye dari Universitas Harvard, yang mengukur kemampuan suatu negara untuk mempengaruhi negara lainnya berdasarkan kerja sama dan bukan pemaksaan, Indonesia berada di urutan ke duapuluh di antara negara-negara berkembang[5].  Hal ini dapat diartikan bahwa Indonesia secara budaya memiliki kemampuan mempengaruhi lingkungannya dengan baik. Namun demikian hal tersebut hanya dapat optimal apabila secara hard power, yang antara lain indikatornya adalah HDI.

2).  Sindrom sosial kegamangan budaya

Dalam beberapa hal, di Indonesia terdapat fenomena sindrom kegamangan budaya dalam menyikapi budaya modern. Gejala tersebut adalah alam bawah sadar  penolakan pengakuan atas kelebih hebatan inovasi dan kreasi bangsa lain.  Hal ini misalnya terlihat dari semangat yang mencoba membahasa lokalkan produk teknologi modern, dengan mencari padanannya pada bahasa kuno yang hampir punah. Kata effective dan efficient dari  bahasa Inggeris, yang mengukur unjuk kinerja suatu unit dalam organisasi modern hasil revolusi Industri, pernah diterjemahkan dengan sangkil dan mangkus. Demikian juga dengan disk dan mouse pada perangkat komputer, dicoba terjemahkan dengan cakram dan tikus, yang makna denotatif maupun konotatifnya jauh dari yang dimaksudkan[6]. Pada hal perbendaharaan kata dalam Bahasa Indonesia tidak cukup kaya sebagai bahasa teknologi. Contoh lainnya adalah  KUHP sebagai suatu sistem hukum Continental yang merupakan mainstream di dunia dan masuk melalui Belanda ke Indonesia berdasarkan asas konkordansi, sering dituding sebagai produk kolonialis. Dewasa ini ada diskursus untuk menggantinya dengan memperkaya warna lokal yang  memasukkan hal-hal kontroversial seperti pasal santet sebagai delik pidana.

Buku-buku sejarah resmi di Indonesia juga hanya melukiskan masa kolonial Belanda sebagai hal yang negatif dan penuh pemerasan serta kedengkian, tanpa menunjukkan bahwa ada blessing in disguise dimana  lewat proses kolonial itulah Indonesia mengenal industrialisasi, administrasi, sistem hukum modern serta cikal bakal wilayah negara Indonesia modern. Dan juga tanpa mempersalahkan raja-raja feodal lokal yang tetap menikmati keistimewaan di atas penderitaan rakyat. Sikap Indonesia ini berbeda dengan negara-negara bekas koloni Inggeris lainnya, seperti Malaysia,  India yang berdamai dengan masa lalunya dan mentranformasikannya menjadi sesuatu yang positif dalam kerja sama ekonomi dan budaya dalam bentuk persemakmuran/ common wealth . Kerja sama  tersebut membawa beberapa kemudahan seperti penetrasi pasar produknya di negara Barat dan kompatibilitas dengan sistem hukum modernnya. Penduduk Negara-negara eks koloni Inggeris juga memiliki daya saing lebih baik dari Indonesia, paling tidak dari segi bahasa, karena Bahasa Inggeris adalah bahasa resmi kedua yang diajarkan dan dipergunakan di negara-negara tersebut. Tidak ada akar kebencian yang diwariskan dalam budaya mereka.

 Pengenalan keIndonesiaan akan lebih mudah bagi Negara lain, apabila menggunakan bahasa atau istilah yang akrab di telinga masyarakat Internasional. Penggunaan nama “GARUDA” kepada flag air penerbangan Nasional Indonesia, misalnya. Menurut penulis itu bukan merupakan pilihan cerdas, sekalipun menunjukkan kegagahan filosofis patriotis budaya. Hal ini berbeda dengan Negara lain seperti Singapura, Malaysia, India, atau bahkan Cina, Jepang dan Perancis, menggunakan dan menonjolkan nama Negaranya sebagai flag air penerbangan nasionalnya, yang memudahkan orang asing mengasosiasikan pesawat terbang yang akan dicarinya kalau mau mengunjungi negara tersebut.

3). Adaptasi kebudayaan global sebagai cara untuk tetap unggul dalam modernisasi

Globalisasi adalah keterkaitan dan ketergantungan antar bangsa dan antar manusia di seluruh dunia melalui perdagangan, investasi, perjalanan, budaya populer, dan bentuk-bentuk interaksi yang lain sehingga batas-batas suatu negara menjadi semakin sempit. Globalisasi adalah suatu proses di mana antar individu, antar kelompok, dan antar negara saling berinteraksi, bergantung, terkait, dan memengaruhi satu sama lain yang melintasi batas negara.[7]

            Bertitik tolak dari pengertian tersebut di atas, maka dalam pandangan penulis, agar keberadaan Indonesia di percaturan Internasional semakin diperhitungkan, adalah dengan memahami, mengadopsi dan ikut mewarnai kebudayaan kontemporer. Pengaruh kebudayaan asing  dengan mudah masuk melalui kemajuan  jaringan teknologi komunikasi. Penerimaan dan adopsi kebudayaan asing ditambah dengan warna kearifan lokal, akan membuat kebudayaan yang berciri khas Indonesia lebih mudah diadopsi di Negara lain. 

            Apabila dianalogkan dengan teori natural selection dari Charles Darwin dalam  “the origin of species[8] , bahwa spesies yang dapat bertahan dan melewati rangkaian tantangan dan kekerasan alam, bukan spesies yang memiliki susunan molekul yang lebih kuat. Yang berjaya adalah mahluk yang memiliki kecerdasan alami dan fleksibilitas untuk merespon keadaan lingkungan sekitarnya yang berubah. Hal yang sama juga dapat terjadi pada globalisasi., dimana hanya individu dan anak bangsa yang secara cerdas menyesuaikan dan “ride over the wave” lah yang akan unggul dan dapat mewarnai kebudayaan dunia. Rides over the wave, hanya akan dapat dilakukan apabila bangsa Indonesia dibekali dengan ketangguhan kepribadian akan nilai-nilai dasar Pancasila dalam menyaring dan mengadopsi pengaruh sosial budaya dari negara lain. Tanpa ketangguhan tersebut, budaya asing sepenuhnya akan menggilas dan berakibat pada “gone with the wind” di kancah globalisasi.

Kesimpulan

Globalisasi adalah suatu keniscayaan. Adaptasi individu dan penyesuaian ke lingkungan sosial yang berubah adalah kunci untuk berhasil. Indonesia pada dasarnya memiliki modal soft power index yang baik. Dalam era globalisasi, keunggulan lebih ditentukan oleh kemampuan menyaring, beradaptasi dan mengadopsi budaya asing daripada bertahan pada romantisme kejayaan masa lalu. Untuk dapat berperan dalam percaturan Internasional, maka kemajuan kualitas kemanusiaan yang tergambar dalam human development index yang tinggi adalah keniscayaan.

 

Jakarta, April 2013


[3] Mainstream sistem hukum di dunia adalah hukum Anglo Saxon dari Inggeris dan digunakan oleh hampir semua bekas koloni Inggeris, dan sistem Continental, yang berasal dari daratan Eropah.

[4] http:// en.wikipedia.org/wiki/List_of_countries_by_Human_Development_Index

[6] Indonesia juga mencoba menawarkan arti Cyber dengan maya., namun komunitas  berakar bahasa  Melayu  di Asean, termasuk Indonesia sepakat menggunakan kata siber, yang diadaptasi secara cerdas oleh Malaysia.