Oleh : Sampe L. Purba
LHOKSEUMAWE (SenayanPost.com) – Dari 27 provinsi zaman Orde Baru, hanya Aceh dan Timor-Timur yang belum saya kunjungi karena alasan keamanan. Harap dimaklum, selama puluhan tahun di benak saya terbentuk gambaran seram mencekam tentang kehidupan masyarakat di dua daerah itu, khususnya di Aceh.
Itu sebabnya, ketika Jumat (5/8/2016) lalu saya berkesempatan mengunjungi kota Lhokseumawe — mendampingi Kepala BPMA Otoritas Hulu Migas yang dibentuk seiring dengan amanat Undang-undang Pemerintahan Aceh–, dan mendapati kehidupan di sana begitu tentram dan penuh keakraban, seketika itu juga persepsi negatif yang memenuhi pikiran saya sirna.
Lhokseumawe, yang dahulu dikenal sebagai penghasil gas/ LNG terbesar di Asia, tetap merupakan kota yang ramah. Kehidupan sosial, ekonomi dan politik menggeliat sampai larut malam, di warung-warung kopi dengan berbagai aroma kelas dunia seperti kopi Gayo, Janto, Ulee Karang, dan seterusnya.
Warung kopi – beberapa dilengkapi free wifi – ibarat mal berfungsi ganda. Sebagai meeting points, pusat lobi politik, birokrasi, diskusi bisnis, temu kangen keluarga atau sekadar cuci mata menyaksikan anak-anak mahasiswi dengan lap top terbuka, berdiskusi sambil menyeruput kopi atau martabak khas berbahan dasar singkong. Persis seperti suasana penduduk Byzantium atau pesisir Laut Tengah menikmati senggangnya.
Beberapa baliho ucapan selamat dari calon kepala daerah yang berbasis partai lokal atau nasional menyiratkan dinamika politik. Sekilas masyarakat tidak terlalu antusias dan juga tidak terlalu apatis dengan politik. Romantika kejayaan masa lalu yang sempat diselingi cekaman pergolakan, tidak membuat masyarakat kehilangan kehangatan pergaulan sosialnya.
Saya dan rombongan antre membeli serapan nasi uduk dengan dua lauk yang dibandrol Rp 20 ribu. Pedagangnya seorang ibu yang sudah senja dan telah “berkarier” dengan gerobak dorongnya selama lebih dari 20 tahun, berhasil mensarjanakan tiga anaknya dan sudah bekerja di swasta dan pemerintahan di Ibu Kota. Ibu itu memilih tetap berdagang, semata-mata demi pelayanan kepada para pelanggan setianya.
Nasi uduk bungkus kami bawa untuk dimakan di warung kopi, di ujung jalan. Amazingly, pemilik warung dengan gembira membersihkan satu meja panjang – nyaman buat kami bersepuluh. Memberikan sendok, lengkap dengan mangkuk cuci tangan, dan masing-masing segelas air putih. Semuanya gratis. Kami hanya memesan dan membayar kopi saja. Contoh teladan pelayanan yang layak ditiru kota lain, misalnya, seperti kawasan Danau Toba jik ingin menjadi destinasi yang ramah.
Pengalaman, Guru Terbaik
Masa keemasan gas sebagai sumber daya alam tidak terbarukan telah berakhir. Kini saatnya upaya eksplorasi dan pengembangan baru di darat maupun di lepas pantai bumi serambi Aceh diperjuangkan serius. Baik terkait dengan penemuan cadangan, pengembangan lapangan, pembangunan infrastruktur maupun penemuan pasar komersial, keberlanjutan dan kredibilitas.
Kilang LNG Arun telah berhenti beroperasi karena ketiadaan pasokan. Pabrik Pupuk Iskandar Muda, pabrik kertas KKA, dan pabrik pupuk AAF lambang kebersamaan ASEAN telah lama megap-megap dan tutup karena hanya mengandalkan sisa sisa (tail) gas dan pasokan LNG dari Papua yang menjadi mahal karena biaya pengapalan, regasifikasi dan penyaluran pipa.
Di tengah kelesuan harga minyak dunia yang membuat gairah eksplorasi gas juga loyo, harus disiasati dengan cerdas. Sambil menunggu geliat eksplorasi dan produksi migas setempat, diperlukan strategi dan upaya yang tepat untuk mencapai titik-balik kejayaan Bumi Serambi Mekah.
Keunggulan geostrategis harus dioptimalkan. Fasilitas tangki penampungan Arun dapat dimanfaatkan sebagai hub untuk refueling kapal-kapal besar jurusan Timur Tengah dan Afrika menuju Jepang, Korea dan Tiongkok dan sebaliknya. Sekitar 60% lalu lintas perdagangan komoditas negara-negara tersebut melalui pantai Timur Aceh.
Protokol lingkungan dunia dalam beberapa tahun ke depan akan melarang dan membatasi penggunaan kapal berbasis bahan bakar minyak/ HSFO dan batu bara. Dalam konteks ini, kawasan Pantai Timur Utara Aceh dapat menjadi bandar alternatif mengimbangi Singapura.
Bercermin dari pengalaman masa lalu, yang terlalu berfokus mengkonversi gas menjadi LNG untuk tujuan ekspor, bahan baku pupuk, dan bahan bakar untuk mendukung industri, sudah saatnya bila ditemukan gas di lapangan-lapangan baru untuk diarahkan ke industri domestik seperti pupuk, petrokimia dan produk turunannya.
Kawasan Ekonomi Khusus yang akan dibangun di Lhokseumawe dengan konsep terpadu antara industri pupuk, petrokimia dan kelistrikan, hendaknya didesain mempermudah bisnis dan bukan untuk memperpanjang mata rantai birokrasi.
Demi efisiensi, kelincahan, kesatuan komando serta kepastian hukum, di masa depan hendaknya Otoritas Migas disatukan di bawah satu organisasi, yang menguasai dari hulu hingga hilir, serta serta tata niaga distribusi. Selain itu, juga dapat menjadi semaian laboratorium percobaan tingkat nasional. Demi Indonesia yang lebih baik. (ZSR)
* Penulis adalah Praktisi Global Gas dan alumni PPRA Lemhannas RI
terbit di Senayan Post 10 Agustus 2016