PENINGKATAN INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA INDONESIA GUNA MENINGKATKAN DAYA SAING BANGSA DALAM RANGKA KETAHANAN NASIONAL
Sampe L. Purba
Pengantar
Globalisasi adalah sebuah keniscayaan. Dalam tahun 2015 akan terbentuk masyarakat ekonomi ASEAN (Asean Economic Community). Dalam masyarakat ekonomi ASEAN tersebut, akan ada liberalisasi terhadap arus barang, jasa, modal dan tenaga kerja terdidik antar negara-negara ASEAN, tanpa hambatan apapun ! Penyeragaman standardisasi, pengaturan dan pengakuan atas standar kompetensia antar negara, membuat persaingan pasar akan sangat ketat. Indonesia adalah pasar yang terbesar di Indonesia apabila ditinjau dari besarnya penduduk maupun jumlah produk domestik bruto, yang lebih dari 50% dari total ASEAN. Pertanyaannya adalah bagaimana Indonesia menghadapi hal tersebut, apakah akan menjadi pesaing yang tangguh, pesanding yang molek , atau pecundang yang mutung.
a. Pokok Masalah
Pembangunan nasional yang dilaksanakan oleh Pemerintah bersama dengan seluruh komponen bangsa adalah pembangunan manusia Indonesia seutuhnya, yang adil, makmur, aman dan sejahtera serta berjiwa merdeka. Pembangunan Nasional dilaksanakan dengan memanfaatkan seluruh potensi, kreasi dan modal yang dimiliki oleh bangsa dan dengan tetap memperhatikan dinamika dan situasi serta lingkungan eksternal dari bangsa-bangsa lainnya yang dapat merupakan faktor pendukung, mitra pesanding atau pesaing dalam mewujudkan cita-cita pembangunan nasional. Manusia Indonesia adalah subjek sekaligus objek pembangunan nasional. Sebagai subjek pembangunan, manusia Indonesia diharapkan dapat menggerakkan dan memanfaatkan segala potensi, kesempatan dan menciptakan peluang serta mengkapitalisasi modal statis dan dinamis yang dimiliki oleh bangsa Indonesia untuk mencapai tujuan pembangunan nasional yang indikatornya dapat diidentifikasi dari tercapainya tahapan-tahapan sasaran pembangunan sebagaimana misalnya telah ditetapkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) maupun dalam Millenium Development Goals (MDG) dalam skala global. Sedangkan sebagai objek, maka pembangunan nasional ditujukan untuk peningkatan kualitas hidup manusia., yang indikatornya diukur dalam Human Development Index (HDI) atau Index Pembangunan Manusia. Pada bulan Maret 2013, UNDP menerbitkan HDI untuk tahun 2012. Indeks HDI Indonesia membaik ke urutan 121/185 negara, dari 124/178 negara (2011), tetapi masih dibawah tahun 2010 yang di urutan 108. Hal ini menunjukkan masih diperlukannya upaya keras untuk memperbaiki kualitas manusia Indonesia di tengah-tengah persaingan dengan masyarakat dunia lainnya.
Adanya globalisasi, beberapa kerja sama kawasan dan akan diwujudkannya masyarakat ekonomi ASEAN tahun 2015, akan menyebabkan lalu lintas barang, jasa, finansial dan tenaga terdidik akan bersaing, serta adanya pengakuan atas standardisasi kompetensi dan penghilangan diskriminasi dan hambatan pasar. Dalam konteks tersebut ada tiga hal krusial yang bertautan, yaitu Indonesia akan bersaing dengan masyarakat Internasional, mempersaingkan pengaruh dan kewenangan serta untuk memenangkannya memerlukan sumber daya manusia yang berkualitas, dengan strategi dan pendekatan yang tepat.
Tabel sederhana berikut menunjukkan posisi relatif parameter persaingan Indonesia dengan beberapa negara di kawasan :
|
Penduduk (jt)
|
GNP per Kapita
|
Indeks daya saing Negara
|
indeks pembangunan manusia
|
rata-rata lama sekolah
|
Gini Ratio
|
dependency ratio projected
|
|
2012
|
2012
|
2012
|
2012
|
|
|
2020
|
Indonesia
|
244.8
|
4.154
|
50
|
121 (0.629)
|
7.2
|
0.42
|
0.452
|
Malaysia
|
29.3
|
13.676
|
25
|
64 (0.769)
|
9.5
|
46.2
|
0.535
|
Cina
|
1.354
|
7.945
|
29
|
101 (0.699)
|
7.5
|
47.4
|
0.408
|
India
|
1.258,40
|
3.285
|
59
|
136 (0.554)
|
4.4
|
36.8
|
0.518
|
Brazilia
|
198,4
|
10.152
|
48
|
85 (0.730)
|
7.2
|
51.5
|
0.443
|
Penduduk Indonesia pada tahun 2013 ada sekitar 245 juta jiwa, dan diperkirakan jumlah di tahun 2025 adalah 273 juta jiwa. Jumlah penduduk tersebut tidak tersebar secara merata. Pulau Jawa yang hanya meliputi 7% dari seluruh luas Indonesia, dihuni antara 55 – 60% penduduk. Komposisi usia produktif (15 – 64 tahun) adalah sekitar 68%, atau dependency ratio sekitar 45%. Dependency ratio yang demikian, sering disebut sebagai bonus demografi, dimana 100 orang usia produktif menanggung 45 orang usia tidak produktif. Komposisi penduduk yang demikian, hanya akan benar-benar menjadi bonus apabila tersedia lapangan kerja yang cukup untuk menopang kehidupan masyarakat.
Untuk meningkatkan daya saing bangsa, diperlukan kemampuan untuk bertransformasi dari pengandalan kepada sumber daya alam, ke industri manufaktur dan selanjutnya ke industri jasa yang mengandalkan knowledge-based economy. Hal ini akan dapat diwujudkan apabila suatu negara memiliki konsepsi yang jelas mengenai penataan institusional, penyediaan tenaga kerja terdidik dan terampil, dorongan inovasi, kreasi dan riset perusahaan serta pengelolaan infrastruktur informasi yang maju.
Dalam sistem pengelolaan politik dan kepemerintahan Indonesia saat ini, tugas, fungsi dan kewenangan tersebut lebih banyak didesentralisasi dan merupakan kewenangan Pemerintah Daerah. Pemerintah Pusat lebih banyak berfungsi sebagai pengarah, penyedia standar dan fasilitator. Adapun implementator dan pembina dan penyedia sarana dan prasaranya merupakan tanggung jawab Pemerintah Daerah.
Ketahanan Nasional merupakan suatu kondisi dinamik bangsa Indonesia yang harus diciptakan sehingga mampu melaksanakan pembangunan nasional di segala aspek. Pembangunan nasional akan dapat dilaksanakan apabila bangsa Indonesia memiliki daya saing yang tinggi. Sedangkan daya saing tersebut akan ada apabila indeks pembangunan manusia Indonesia terbina dan meningkat. Sehubungan dengan hal tersebut di atas yang menjadi pokok persoalan adalah bagaimana peningkatan Indeks Pembangunan Manusia Indonesia guna meningkatkan daya saing bangsa dalam rangka ketahanan nasional.
b. Pokok – Pokok Persoalan.
Dari uraian pokok permasalahan diatas, maka pokok – pokok persoalan yang dapat diidentifikasi, adalah sebagai berikut :
1) Kebijakan Pembangunan yang tidak searah dan terstruktur.Sistem otonomi daerah telah memilah dan memisah tanggung jawab pembangunan antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah. Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, didetilkan menjadi Rencana Pembangunan Jangka Menengah sebagai penterjemahan prioritas visi-misi Presiden yang terpilih sesuai janji kampanyenya. Sementara itu, para bupati dan pemerintah kota memiliki otonomi dan kebebasan yang sangat luas dalam merumuskan, memprioritaskan dan membina sarana, prasarana dan sumber daya manusia yang ada di daerahnya. Pemerintah Pusat kehilangan kendali terhadap standar pelayanan minimum yang harus dipenuhi oleh para bupati. Pemerintah Provinsi, yang semestinya berfungsi ganda sebagai aparat Pemerintah Pusat di daerah, tidak memiliki fungsi sebagai atasan komando yang dapat mengarahkan prioritas pembangunan manusia di daerah kabupaten kota. Forum Musyawarah Rencana Pembangunan (MusRenBang), sesuai namanya adalah forum untuk musyawarah, bukan badan yang memiliki kewenangan direktif.
2) Pembangunan Kualitas Sumber Daya Manusia yang tidak terstruktur dan terpola. Atribut kualitas dasar sumber daya manusia adalah kesehatan, pendidikan dan pembinaan karakter. Dalam era otonomi dewasa ini tidak ada lagi program Pemerintah yang terpadu dan terstandar mengenai pemeliharaan kesehatan dan penyiapan ibu-ibu dalam mempersiapkan kehamilan, persalinan dan perawatan balita. Program pengendalian kelahiran diserahkan kepada para bupati dan pemerintah kota. Demikian juga halnya dengan pemeliharaan gizi yang sebelumnya ada di Posyandu sudah hilang. Sarana dan prasarana sekolah yang dibangun pemerintah Orde Baru, gagal dirawat dan diremajakan oleh Pemerintah Daerah. Penyediaan sarana pendidikan diserahkan kepada mekanisme pasar yang memperkenalkan sekolah unggulan dan komersialisasi pendidikan. Adanya kemajuan informasi, komunikasi dan teknologi, serta media televisi yang memproduksi tayangan yang tidak mendukung pembinaan karakter, ditambah hilangnya pendidikan budi pekerti dari kurikulum sekolah, berakumulasi ketiadaan pembangunan insan yang berkarakter.
3) Ego sektoral, kedaerahan dan kepartaian yang tidak mendukung secara kondusif untuk penataan kelembagaan.
Pemerintah yang terbentuk saat ini sebagai hasil dari produk reformasi, adalah pemerintahan presidensial yang sarat dengan nuansa parlementarian dan kepartaian. Program-program Presiden sebagai penguasa eksekutif harus dikompromikan dengan pertimbangan politis di lembaga parlemen. Demikian juga adanya beberapa partai yang memiliki platform dan agenda yang berbeda tetapi berada dalam satu kabinet dapat memunculkan kesetiaan ganda. Pengukuran kinerja yang diterjemahkan dan dimonitor oleh UKP4 mendorong masing-masing kementerian bersikap ego sektoral untuk memenuhi KPI masing-masing. Pemerintah Kabupaten/kota yang merupakan koalisi semu pragmatis antar partai untuk pemenangan jabatan, menjadi berdimensi jangka pendek dan pragmatis. Hal-hal tersebut di atas tidak mendukung terciptanya penataan kelembagaan yang disiapkan untuk menghadapi persaingan global.
4) Persaingan dari Negara dan Institusi global. Peningkatan indeks pembangunan manusia Indonesia juga dipengaruhi oleh faktor eksternal. Penetrasi pasar barang, jasa, teknologi dan tenaga kerja terampil dari negara-negara sekitar dapat mempersempit dan meminggirkan kemampuan tenaga kerja domestik untuk meningkatkan keunggulannya. Kesulitan menerobos pasar luar negeri yang lebih efisien dan unggul, juga tidak mendukung kepada peningkatan pendapatan nasional. Keunggulan kompetitif negara lainnya merupakan barrier alami. Integrasi dan kesepakatan pasar bersama baik secara global, regional dan segmentasi dengan segala aturan, disiplin dan pembatasannya merupakan tambahan permasalahan dalam memproteksi dan membesarkan pelaku pasar domestik.
c. Pokok Pokok Pemecahan Persoalan.
Untuk memecahkan pokok persoalan peningkatan indeks pembangunan manusia Indonesia , maka perlu disusun langkah-langkah sebagai berikut :
1) Menyelaraskan dan merestrukturisasi kebijakan perencanaan dan pelaksanaan pembangunan di Pusat dan Daerah.
Sistem yang dianut Indonesia saat ini dalam perencanaan pembangunan nasional, tidak memberi peluang dan rangsangan untuk terjadinya pembangunan nasional secara terpadu. Ketidak terikatan daerah untuk sejalan senafas dengan kebijakan presiden dalam RPJMN, merupakan konsekuensi dari terlepasnya visi-misi presiden dengan visi misi kepala daerah otonom, baik pada tingkat kabupaten kota maupun provinsi.Seperti dijelaskan di atas, musrenbang bukan sebuah forum komando perencanaan dan pengambilan keputusan, melainkan lebih merupakan forum urun rembug dan penyelarasan. Seharusnya Pemerintah Pusat harus memegang komando dalam penentuan prioritas pembangunan, yang diwujudkan dalam penguasaan sarana, prasarana, pembinaan ke sdm an, dan penetapan standarisasi minimal kualitas layanan di tiap daerah. Penyerahan seluruh kewenangan ke daerah, dengan menyisakan hanya 6 bidang di tingkat pusat, tanpa tanggung jawab pemenuhan kualitas pelayanan minimum adalah sebuah blunder dan cuci tangan politis.
2) Mempersiapkan kualitas kesehatan, pendidikan dan karakter generasi penerus dengan kebijakan dan implementasi yang bersifat nasional.
Investasi di bidang sumber daya manusia seperti kesehatan, pendidikan dan pembinaan karakter generasi muda, adalah investasi yang bersifat jangka panjang, yang hasilnya tidak akan segera terlihat dalam lima atau sepuluh tahun (dua periode kepala daerah). Seorang kepala daerah pada umumnya tidak akan tertarik melakukan investasi non fisik yang hasilnya akan dinikmati oleh orang lain, yang akan memerintah di tahun ke 11 misalnya. Dengan keterbatasan sarana, prasarana dan sumber daya manusia yang ada, maka dia mungkin akan lebih memprioritaskan pembangunan infrastruktur fisik, seperti jalan, sekolah, irigasi dll sesuai janji kampanye pragmatis dari pada peningkatan gizi ,penghidupan posyandu atau membangun sekolah SD.
Adalah juga hal yang umum ditemukan, bahwa pejabat pimpinan di tingkat daerah diangkat bukan berdasarkan kompetensinya, tetapi lebih karena pertimbangan lain. Maka tidak mengherankan kalau seorang sarjana agama misalnya mengepalai dinas pekerjaan umum, sementara seorang yang berlatar belakang tehnik, mengepalai dinas penerangan atau pendidikan . Rotasi dan mutasi yang merupakan kebijakan sepenuhnya kepala daerah, mengakibatkan pembinaan kompetesi ke sdm an yang telah dilakukan oleh aparat pusat ke daerah, menjadi mubazir. Sudah saatnya hal ini ditinjau dan ditarik kembali menjadi kewenangan di tingkat pusat.
Posyandu, Keluarga Berencana, SD INPRES, Pupuk Bimas/Inmas, Penyangga stabilitas nilai tukar barang pertanian, Proyek Irigasi merupakan program unggulan Pemerintah Orde Baru untuk mensejahterakan rakyat. Dimana hal itu saat ini? Nyaris tidak terdengar. Pemerintah Pusat boleh berkilah, bahwa sesuai tuntutan demokrasi, dalam UU otonomi daerah, hal tersebut sudah merupakan tanggung jawab Pemerintah Daerah. Tetapi benarkan demikian?
Undang-undang Dasar mengamanatkan bahwa memajukan kesejahteraan umum, dan mencerdaskan kehidupan bangsa adalah tugas Pemerintah. Pemerintah yang dimaksud adalah Pemerintah Pusat. Undang-undang Dasar dan Undang undang 32 thn 2004 tentang Otonomi Daerah sangat jelas membedakan bahwa Pemerintah adalah Pemerintah Pusat, sedangkan Pemerintah daerah otonom bukanlah Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945. Lalu kenapa Pemerintah Pusat cuci tangan dan menyerahkan kewenangan tersebut dengan segala konsekuensinya ke pemerintah daerah?. Siapa yang bertanggungjawab atas rendahnya daya saing indeks pembangunan manusia Indonesia?
3) Menata secara konsisten sistem perpolitikan, penyelenggaraan pemerintahan dan kepartaian sesuai dengan prinsip Pemerintahan Presidensial.
Sistem Pemerintahan Indonesia saat ini merupakan anomali dalam sebuah sistem demokrasi. Tidak jelasnya komando dan lingkup kerja eksekutif versus legislatif memperunyam situasi. Lembaga legislatif di tingkat pusat, telah mencampuri terlalu jauh tugas-tugas lembaga eksekutif. Persetujuan anggaran termasuk perubahannya sampai satuan tiga misalnya, telah menyentuh hal-hal teknis yang merupakan kewenangan eksekutif. Demikian juga, koalisi Partai Pemerintah versus Penyeimbang/ oposisi menjadi tidak jelas. Partai koalisi Pemerintah dalam beberapa hal bertentangan dengan kebijakan yang diambil Pemerintahnya, atas nama kebebasan mandat demokrasi yang kelewat absurd.
Pemerintah harus kembali melaksanakan secara murni dan konsekuen, sistem pemerintahan presidensial di negara yang berbentuk kesatuan ini. Negara ini, bukan negara parlementer dengan sistem federal. Lalu kenapa praktek penyelenggaraan pemerintahan menjadi parlementer dan federal?
4) Menyesuaikan dan mempersiapkan kebijakan, aturan dan kelembagaan dalam menghadapi persaingan pasar global.
Indonesia harus kreatif dalam menciptakan kondisi termasuk aturan yang kondusif dan memihak kepentingan nasional, tanpa terkesan melakukan proteksi dan diskriminasi yang tidak cerdas. Dalam profesi hukum misalnya, dapat diciptakan aturan bahwa orang asing dapat berpraktek baik untuk litigasi maupun non litigasi apabila telah memiliki sertifikat tertentu yang dikeluarkan otoritas lembaga terkait di Indonesia. Barang yang masuk ke Indonesia misalnya harus lolos standar local content, atau label halal dsb. Kelembagaan harus direformasi yang memungkinkan debirokratisasi, pelayanan satu atap dan pelayanan melalui elektronik.
Mendengung-dengungkan slogan dan jargon nasionalisme, untuk mencintai roduk dalam negeri misalnya, bukan lagi pilihan yang efektif. Konsumen yang cerdas dan rasional pada umumnya hanya akan memilih barang dan jasa berdasarkan perbandingan harga, kualitas, ketersediaan dan pelayanan purna jual. Apabila barang impor lebih menyediakan hal itu, konsumen akan memilih hal tersebut, dan tidak perlu harus diberikan stigma tidak nasionalis. Seorang nasionalis haruslah yang rasional.
Penutup
Indeks Pembangunan Manusia, yang terdiri dari parameter pendidikan, kesehatan dan indeks ekonomi/ daya beli, pada dasarnya adalah untuk pembangunan manusia Indonesia seutuhnya. Tanggung jawab tersebut, menurut Undang-undang Dasar adalah tanggung jawab Pemerintah Indonesia. Pemerintah yang merdeka dan berdaulat menurut UUD 1945 yang dimaksud adalah Pemerintah Pusat. Sudah saatnya Pemerintah kembali mengkaji dan bertanya, apakah pemberian otonomi seluas-luasnya saat ini ke daerah, merupakan tindakan tepat, telah mencapai sasaran atau hanya pengalihan tanggungjawab berdasarkan tuntutan aspirasi demokratisasi atas nama pemberdayaan daerah.
Jakarta, Juni 2013