Tantangan Masa Depan LNG Indonesia

Tantangan Masa Depan LNG Indonesia

Oleh : Sampe L. Purba

Dalam satu setengah tahun terakhir harga minyak mentah dunia telah turun hampir 400%, dari sebelumnya pada kisaran $ 110/ barrel ke level di bawah $ 30 an. Kontrak kontrak LNG jangka panjang Indonesia saat ini – yang formulanya mengikuti harga minyak mentah ke pasar tradisional Jepang akan berakhir di tahun 2020. Kontrak tersebut ditandatangani tahun 1973 dan 1981 yang lalu, ketika Indonesia memiliki posisi dominan di pasar LNG. Pemain utama saat ini di pasar tradisional regional (Jepang, Korea, Taiwan, China) adalah Australia, Qatar, Malaysia, Nigeria, Rusia bagian Timur dan Trinidad – Tobago. LNG Indonesia dari Tangguh, Masela, kawasan Kalimantan (ENI, Chevron dan Mahakam), akan mencoba masuk bersaing mengisi kekosongan tersebut.

Deregulasi kelistrikan di Jepang mengharuskan persaingan dan efisiensi. Termasuk di dalamnya memisahkan (unbundling) Pembangkit dari Transmisi. Ada juga komitmen bauran energi mengurangi LNG yang saat ini sekitar 46 % menjadi 27% di tahun 2030, untuk digantikan energi terbarukan. Perlambatan pertumbuhan ekonomi di Tiongkok, dan kecenderungan Negara tersebut menggunakan batu bara, serta membawa LNG equitynya dari perusahaannya di luar negeri, membuat pasarnya tidak prospektif. Beberapa kontrak LNG jangka panjangpun diindikasikan untuk dikurangi volumenya. Sedangkan di pasar Korea dan Taiwan, Indonesia belum banyak berpengalaman.

Perkembangan teknologi, ketersediaan kapal, storage serta terminal regasifikasi LNG yang meningkat, dan masuknya Amerika Serikat ke pasar ekspor mengakibatkan liquidnya pasar LNG dunia. Pasar LNG saat ini cenderung bersifat spot. Banyak pembeli LNG bukan pembeli akhir (end user), melainkan pedagang (trader) yang memanfaatkan mekanisme perbedaan harga, waktu delivery dan destinasi untuk mendapatkan keuntungan arbitrage. Pada hal untuk pengembangan lapangan gas agar investor mau FID (Financial Investment Decision), kepastian penyerapan pembelian jangka panjang merupakan keniscayaan.

LNG Indonesia yang baru berasal dari laut dalam, dengan biaya produksi yang lebih mahal, serta ada persaingan antara produser LNG. Ketatnya persaingan akan terefleksi dalam penawaran commercial terms. Utamanya adalah formula harga dengan slope/ koefisien yang lebih rendah, komitmen volume pengambilan, metode pengangkutan dan destinasi yang lebih fleksibel, serta price review clause yang lebih longgar. Kurangnya fleksibilitas komersial dapat membuat tidak kompetitifnya LNG Indonesia di pasar ekspor.

Bagaimana dengan peluang agar LNG Indonesia lebih banyak dioptimalkan di dalam negeri ?

Dalam tahun 2015 misalnya, pasar domestik hanya mampu menyerap sekitar 39 kargo atau 61% dari yang dialokasikan oleh Pemerintah, sehingga sisanya terpaksa diekspor di pasar spot. Selain karena perlambatan ekonomi nasional, mahalnya infrastruktur turut berkontribusi. Sebagai contoh, LNG Tangguh yang landed pricenya sekitar $ 6 – $ 7 di Arun Aceh masih terbebani sekitar $7 lagi untuk biaya terminal, biaya tol pipa transmisi, niaga, dan distribusi hingga tiba di kawasan industri Medan. Hal ini adalah karena infrastruktur terminal dan pipa transmisi yang dibangun afiliasi Pertamina, maupun biaya distribusi yang dibebankan oleh PT. PGN lebih didasarkan pada perhitungan pengembalian investasi dari pengguna eksisting. Bukan berdasarkan kemampuan teknis utilisasi dan kapasitas infrastruktur yang bersifat jangka panjang. Hal yang relatif sama terjadi untuk pemanfaatan di pulau Jawa, terutama yang melalui terminal regasifikasi FSRU Lampung. Adapun FSRU Muara Karang relatif lebih tinggi utilisasinya.

  1. PLN adalah anchor dan harapan utama sebagai pengguna LNG. Namun kenyataannya tingkat serapan PLN masih rendah. Dalam berbagai Pembangkit, kebijakan internal di PLN lebih mengutamakan uap, batu bara dan bahan bakar minyak (yang menjadi lebih murah dari gas pipa dan LNG pada rezim harga minyak yang rendah) sebagai bahan bakar. LNG lebih merupakan cadangan jaga-jaga pada saat beban puncak (peaker). Sementara itu, dalam rencana penyediaan listrik melalui pembangkit listrik swasta (Independen Power Producers – IPP) sekitar 25.000 MW, PT PLN membuat aturan yang kurang mendukung pemanfaatan LNG domestik. Persyaratan tender IPP antara lain mewajibkan paket supply LNG selama 10 tahun (dari impor atau domestik) , beserta dengan terminal regasifikasi, storage dan jetty ke PLN.

PT PLN yang memegang status monopoli kelistrikan, seyogianya mengemban konsekuensi dan tanggung jawab lebih dari sekedar mencari laba korporasi dengan memprioritaskan harga energi termurah yang bersifat jangka pendek. Sustainabilitas, pengembangan lapangan migas yang bersifat jangka panjang, dan keterpaduan dengan upaya menggeliatkan ekonomi nasional harus juga masuk dalam perhatian utama.

Untuk menciptakan monetisasi demand domestik lainnya diperlukan setidaknya dua hal, yaitu pertama keterpaduan pada lintas Kementerian untuk membangun infrastruktur dan mendorong industri hilir seperti pupuk, petrokimia dan turunannya seperti bahan aromatik, olefin dan plastik. Kedua, untuk kawasan Indonesia bagian Tengah dan Timur, agar diusahakan ada LNG hub yang dapat didarati kapal kecil atau dalam bentuk CNG (compacted Natural Gas). Sementara itu, untuk menyiasati pasar yang ketat, perlu kewenangan pemasaran LNG bersifat tunggal di bawah Pertamina agar produksi domestik tidak saling bersaing tetapi menjadi satu portofolio LNG Indonesia.

 

Jakarta, Januari 2016