Lembaga lembaga superbody – Sampe L Purba

Lembaga lembaga superbody – Sampe L Purba

 

Sampe L. Purba

 

Diskursus mengenai lembaga superbody ini baru-baru ini menyentak ke ruang publik yang antara lain dipicu oleh pernyataan Presiden mengenai lembaga KPK, yang antara lain beliau sampaikan bahwa “power must not go uncontrol”. Ada kekuatiran dan kerisauan bahwa apabila ada suatu lembaga, yang pertanggungjawabannya hanya kepada Tuhan yang maha kuasa, dan tidak kepada institusi yang lain, akan dapat kebablasan, sebab bagaimanapun semua pengemban amanah adalah manusia biasa yang memiliki kelemahan, kekeliruan dan dapat tergoda atau tergelincir kepada penyalah gunaan kekuasaan.

Dalam konsep tata kelola institusi yang baik ( good institutional governance), suatu institusi harus memiliki akuntabilitas terukur, responsibilitas yang jelas, transparansi kinerja di samping independensi dalam pengambilan keputusan. Hanya dengan aturan main yang demikian suatu independensi tidak akan terselewengkan atau tidak akan go uncontrol (meminjam istilah Presiden). Adagium yang sudah teruji secara empiris adalah bahwa power tends to corrupt, and absolute power corrupt absolutely.

Tulisan ini akan mencoba mengulas mengenai hal-hal seputar lembaga superbody di negeri ini, yang akan ditinjjau dari beberapa aspek yaitu pendirian suatu lembaga, mekanisme pertanggungjawabannya, kekuatan daya mengikat putusannya, diskresi yang dimilikinya, maupun banding terhadapnya, serta seleksi atas keanggotaannya. Selanjutnya dengan mematut-matutkan kepada kriteria kriteria tersebut akan dicoba ulas, ternyata banyak sekali lembaga di negeri ini yang tampilan dan pendiriannya atau bahkan maksud didirikannya adalah sebagai lembaga superbody. Penulis tidak berpretensi bahwa pembaca akan setuju dengan pendapat ini, namun dengan mengikuti bingkai kriteria yang penulis buat, pembahasan lembaga superbody tersebut akan dibedah dalam uraian berikut ini.

 

Beberapa lembaga yang dicoba kaji, yang sering dipersepsikan sebagian kalangan sebagai memiliki independensi dan power yang massif setidaknya ada lima lembaga yaitu : KPK, BPK, DPR, KPPU dan DitJen Pajak.

KPK

KPK atau Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang dibentuk berdasarkan Undang-undang Nomor 30 tahun 2002 pada konsiderans menimbang secara gagah menyatakan bahwa pembentukan lembaga ini adalah karena lembaga-lembaga pemerintah yang menangani tindak pidana korupsi belum berfungsi secara efektif dan efisien dalam memberantas tindak pidana korupsi. Korupsi dianggap merupakan momok yang merugikan keuangan negara, perekonomian negara dan menghambat pembangunan nasional.

Undang-undang ini terdiri dari 72 pasal, yang hampir keseluruhan pasal-pasalnya mencerminkan kemahasuperan badan ini. Dalam pengamatan penulis, pembuat undang-undang ini tampaknya mengasumsikan bahwa orang-orang yang diberikan amanah menjalankan undang-undang ini adalah orang-orang yang mumpuni, yang sudah teruji kapabilitas moralitas, intelektualitas dan spritualitasnya serta merupakan orang-orang pilihan yang telah melewati kawah candradimuka dan selalu lolos dari godaan harta, takhta maupun wanita. Undang-undang ini tidak menyisakan ruang bagi institusi lain untuk melakukan koreksi padanya. Dia adalah institusi yang bebas nilai, independen dalam kenyataan dan sikap mental ( in fact and in appearance).

Hal-hal tersebut dapat dilihat pada antara lain :

Status :

Berdasarkan pasal 3, dinyatakan bahwa KPK adalah lembaga negara yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari kekuasaan manapun.

Kewenangan:

KPK memiliki kewenangan yang embedded pada institusi itu sendiri mulai dari penyelidikan, penyidikan hingga penuntutan. Untuk mendukung operasionalnya, institusi ini berhak menyadap apapun yang dapat disadap. Negara dengan sadar dan sukarela membiarkan ruang privat warganya diterobos oleh institusi ini, apabila menurut institusi tersebut penyadapan itu adalah untuk menengarai adanya hal-hal yang dapat mengarah kepada tindak pidana korupsi.

Hal ini berbeda dengan pengaturan yang diatur dalam KUHAP, dimana wewenang penyelidikan diberikan kepada instansi kepolisian, sedangkan wewenang penuntutan ada pada instansi kejaksaan. Kewenangan KPK yang demikian, tentu saja tidak dapat menghindari adanya friksi atau setidaknya kesan friksi dan benturan dengan institusi kepolisian dan kejaksaan, sebab pada kedua institusi yang terakhir ini, tidak dicabut hak dan kewenangan untuk melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan.

Sebagai ekses dari kewenangan tumpang tindih yang demikian adalah berlomba-lombanya ketiga institusi tersebut mengumumkan kepada publik, penanganan kasus-kasus yang berhasil diselesaikannya. Masing-masing institusi harus menunjukkan kinerjanya kepada publik. Publik tidak tahu persis, apa yang dimaksud dengan penanganan kasus tersebut, apa ukuran dan kriteria sukses, dan apakah itu kasus dengan subjek atau objek yang sama, atau kasus-kasus yang berulang-ulang diungkap tetapi dengan angle dan aksentuasi yang berbeda-beda. Yang penting, running text TV akan mengumumkan jumlah kasus dan nilai moneter yang berhasil diselamatkan masing-masing institusi tersebut. Keberhasilan mana tidak pernah dikonfirmasi oleh Departemen Keuangan sebagai ada pemasukan dana segar dari hasil pengembalian dana korupsi, yang menjadi satu pos penerimaan di sisi APBN.

Siapa yang mensupervisi pemenuhan standar-standar penyelidikan dan penuntutan yang dilakukan oleh KPK. KPK dapat pula bergerak untuk memilih dan memilah kasus-kasus yang akan ditanganinya atau yang dalam perjalanannya dihentikan penerusannya ke pengadilan. Bahkan KPK berwenang untuk mengambil alih kasus-kasus yang telah ditangani oleh instansi kepolisian atau kejaksaan sepanjang menyangkut tindak pidana korupsi.

Nah, dan yang uniknya, sekali KPK meneruskan suatu kasus untuk diadili, KPK tidak berwenang untuk menerbitkan surat perintah penghentian penyidikan atau penuntutan atas kasus tersebut. Dengan demikian, asumsi yang dipegang adalah bahwa sekali suatu kasus dimajukan ke pengadilan, maka dianggap sudah memenuhi syarat subjektif dan syarat objektif untuk dikategorikan sebagai kasus tindak pidana korupsi. Hal ini dapat pula diartikan bahwa, lembaga KPK yang menangani suatu kasus, tidak memberikan status dari kasus tersebut, atau dibiarkan terkatung-katung untuk waktu yang tidak terbatas, dengan alasan untuk melengkapi dan mendalami, sebab sekali maju ke pengadilan tidak dapat lagi mundur.

Pertanggungjawaban:

Berdasarkan pasal 20, KPK hanya bertanggungjawab kepada publik dengan tata cara dan kriteria yang ditentukan sendiri oleh KPK. Sementara kepada Presiden, BPK dan DPR sifatnya hanya menyampaikan laporan. Pertanyaan krusial di sini adalah, siapa yang dimaksud dengan publik, dan bagaimana publik tersebut memberikan judgment atas misalnya suatu diskresi yang dipandang sebagian publik tidak mencerminkan harapan dan asas keadilan atas penanganan suatu kasus. Selain itu juga, tidak ada kriteria, batasan, ukuran, kedalaman informasi serta penilaian balik dari yang namanya publik itu kepada kinerja dan pelaporan KPK.

Siapa institusi publik itu? Beberapa lembaga sosial masyarakat, misalnya yang aktif memperhatikan dan mengangkat isu-isu korupsi, apakah dapat dianggap sebagai institusi publik. Siapa yang mengangkat para LSM tersebut menjadi institusi publik. Kepada siapa pula para LSM tersebut bertanggungjawab. Lalu apakah LSM ini juga bebas nilai, dan kalau ya nilai-nilai yang bagaimana.  Atau apakah dengan di uploadnya suatu kasus ke dalam internet dianggap telah melaporkan kepada publik. Justru yang sering menjadi keluhan dari berbagai kalangan adalah, dengan di uploadnya berbagai penanganan kasus di internet, hal ini justru dapat dipergunakan oleh pihak-pihak yang kurang bertanggungjawab untuk menekan dan memeras subjek yang menjadi objek pemeriksaan suatu institusi superbody.

Sebetulnya, Undang-undang ini juga memberikan ruang untuk dikoreksi, yaitu dengan adanya persyaratan audit kinerja dan pertanggungjawaban keuangan. Namun, Undang-undang tidak menjelaskan lembaga mana yang dapat melakukan audit kinerja maupun pertanggungjawaban keuangan kepada KPK. Ketika belum lama ini ada inisiatif dari BPKP untuk melaksanakan hal tersebut, tidak kurang dari presiden SBY mengecam BPKP yang menyatakan itu melebihi kewenangannya, pada hal sebagai institusi negara, KPK adalah lembaga yang dibiayai oleh APBN. Berdasarkan PP yang mengatur BPKP, semua instansi atau institusi yang mendapatkan dana dari APBN, dapat menjadi objek yang akan diaudit oleh BPKP.

Siapakah yang mengoreksi kalau KPK tidak perform atau ada unsur-unsurnya yang tidak perform?. Nampaknya penyusun undang-undang KPK berasumsi bahwa orang yang didudukkan di lembaga tersebut adalah manusia-manusia super yang sudah bebas dari godaan dan kepentingan pribadi serta sepenuhnya mengabdi kepada Negara dengan mengesampingkan kepentingan pribadinya. Hal ini mengingatkan penulis kepada suatu lakon pewayangan.  Resi Bisma Dewanggada yang sebetulnya menjadi pewaris sah kerajaan Hastina pura, demi kecintaan kepada Negara, dan ayahandanya Prabu Santanu, mengesampingkan seluruh kepentingan pribadinya. Salah seorang guru besar penulis, yaitu Prof. Romli yang memiliki andil signifikan dalam pembidanan Undang-undang tersebut, di suatu kelasnya pernah berkata dan menyesal telah memberi kewenangan yang terlalu luas, sebab tokh KPK adalah manusia juga yang tidak luput dari kelemahan, kesalahan dan kemungkinan godaan. Para pimpinan maupun karyawannya belumlah setingkat dengan Resi Bisma sebagaimana diuraikan di atas.

Bagaimanapun, masyarakat memerlukan kehadiran KPK. Tetapi KPK yang diperlukan adalah institusi yang dilengkapi juga dengan mekanisme check and balance. Kita tidak boleh mendirikan suatu instansi yang untouchables, tertutup dan melakukan self assessment dan self justification terhadap kinerjanya. Kita juga tidak mengharapkan terjadinya bagi-bagi kaveling antara kepolisian, kejaksaan dan KPK dalam penanganan kasus-kasus. Sebab bagaimanapun, adalah juga akan menjadi suatu draw back, kalau karena saling sungkan antar instansi, antar ketiga instansi ini menjadi seolah-olah ada kesaling pengertian yang tidak perlu diucapkan, misalnya untuk saling tidak mengganggu apa yang dikerjakan institusi institusi tersebut sepanjang menyangkut objek dan kasus yang sama.

 

Artikel ini masih akan dilengkapi :

Pls find enclosed pasal-pasal terkait

 

See U on pembahasan lembaga-lembaga superbody berikutnya

 

Jkt, agst 09

Aspek Hukum dalam perjanjian baku pada layanan parkir valet – Sampe L. Purba

Aspek hukum dalam perjanjian baku pada karcis Layanan Parkir Valet dikaitkan dengan ketentuan KUHPerdata dan Undang-undang nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen Bab IPendahuluanDalam sistem Hukum Perdata Indonesia, perikatan dapat timbul dari dua hal, yaitu pertama dari perjanjian atau kesepakatan para pihak dan kedua yaitu yang timbulnya karena undang-undang. Perikatan diartikan sebagai perhubungan hukum antara dua orang atau dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak yang lain ( pemenuhan prestasi) dan pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu (kontra prestasi).Hukum perjanjian dalam KUHPerdata menganut asas konsensualisme. Konsensualisme berasal dari akar kata konsensus yang berarti sepakat. Kesepakatan dapat berupa suatu perjanjian tertulis, atau lisan atau kebiasaan yang terjadi dalam satu sifat atau lingkup transaksi tertentu[1]. Pihak yang berhak menuntut prestasi (kreditur) mendapatkan perlindungan hukum untuk meminta pemenuhan, atau pemulihan atau ganti rugi dalam hal pihak yang harus memenuhi prestasi (debitur) dalam keadaan tidak dapat (baik karena tidak mampu atau sebab lainnya) memenuhi prestasi dimaksud. Perjanjian pada umumnya bersifat bilateral dan timbal balik, artinya suatu pihak yang memperoleh hak-hak dari perjanjian itu, juga menerima kewajiban-kewajiban yang merupakan kebalikan dari hak hak yang diperolehnya. Sebaliknya suatu pihak yang memikul kewajiban kewajiban juga memperoleh hak-hak yang dianggap merupakan kebalikan dari kewajiban yang dibebankan padanya[2].Asas umum perjanjian dalam KUHPerdata terdapat dalam pasal 1320 dan pasal 1321  KHUPerdata yang berbunyi : Pasal 1320. Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan 4 syarat :a)      sepakat mereka yang mengikatkan dirinya.b)      Kecakapan untuk membuat suatu perikatanc)      Suatu hal tertentu,d)     suatu sebab yang halal.Pasal 1321. Tiada sepakat yang sah apabila sepakat itu diberikan karena kekhilafan, atau diperolehnya dengan paksaan atau penipuan.Jasa pelayanan parkir valet (valet parking service), adalah salah satu contoh perjanjian yang berdasarkan asas konsensualisme dianggap telah disepakati para pihak, secara serta merta ketika konsumen pengguna jasa valet parkir (untuk kesederhanaan diartikan sebagai pemilik mobil) menyerahkan kunci mobilnya untuk diparkirkan oleh petugas parkir. Ketentuan-ketentuan yang mengatur (general terms and conditions) pada perjanjian valet parking terdapat dan tercetak pada lembaran kartu valet parkir yang diterima oleh konsumen. Ketentuan yang mengatur hak-hak dan kewajiban antara konsumen (dalam hal ini dapat dipersamakan dengan  kreditur jasa pelayanan valet parkir) dan Perusahaan (dalam hal ini dapat dipersamakan dengan debitur yang menyediakan jasa pelayanan valet parkir), merupakan perjanjian baku, yaitu perjanjian yang telah diberlakukan sepihak dan dianggap diterima oleh pihak lain seketika pihak lain tersebut menerima penawaran (accept the offer) jasa dimaksud. Dalam Undang-undang nomor 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen dinyatakan bahwa Klausula Baku adalah setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen.Prosedur baku dalam pelayanan jasa valet parkir adalah konsumen segera menyerahkan mobilnya dalam keadaan mesin menyala kepada petugas berseragam valet parking di tempat yang ditentukan (biasanya di depan lobby), dan menerima secarik tiket atau kertas sebagai bukti telah menyerahkan mobil untuk diparkirkan.Mengingat kedudukan para pihak dalam penentuan terms and conditions perjanjian baku tidak seimbang, dimana satu pihak (dalam hal ini konsumen) berada pada posisi take it or leave it, maka perjanjian baku diharapkan tetap memenuhi asas-asas lain dalam perjanjian seperti asas keseimbangan, asas kepatutan, asas itikad baik dan tidak ada cacat tersembunyi serta memenuhi rasa keadilan hukum bagi konsumen dalam meningkatkan posisi tawarnya terhadap Perusahaan yang menawarkan jasa valet parkir.  Bunyi perjanjian standar pada Layanan Parkir Valet pada umumnya adalah sebagai berikut :

  1. Perusahaan tidak bertanggungjawab atas kerugian yang ditimbulkan akibat kerusakan atau kehilangan kendaraan berikut isinya  dan atau kendaraan pihak ketiga maupun kecelakaan terhadap seseorang selama kendaraan Anda berada di lingkungan parkir perusahaan atau dikemudikan oleh petugas Layanan Parking Valet
  2. Apabila anda kehilangan kartu parkir, Perusahaan tidak bertanggungjawab atas kerugian yang ditimbulkan akibat penyerahan kendaraan serta isinya kepada pihak lain yang menyerahkan kartu parkir perusahaan.

Sedangkan dalam Undang-undang nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen mengenai klausul baku untuk tetap tegaknya asas kebebasan berkontrak berbunyi antara lain sebagai berikut : Pasal 18(1) Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian apabila:a. menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha;….e. mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen;….. (2) Pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letak atau bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang pengungkapannya sulit dimengerti.(3) Setiap klausula baku yang telah ditetapkan oleh pelaku usaha pada dokumen atau perjanjian yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dinyatakan batal demi hukum.(4) Pelaku usaha wajib menyesuaikan klausula baku yang bertentangan dengan Undang-undang ini. Makalah ini akan mengkaji dan menguji secara hukum apakah ketentuan yang tercetak pada perjanjian baku tersebut telah memenuhi asas-asas umum hukum perjanjian dan perlindungan bagi konsumen berdasarkan asas-asas hukum yang hidup di masyarakat.               Bab IIAsas-asas umum dalam suatu perjanjian

  1. Asas-asas umum perikatan

Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, bahwa perikatan dapat timbul dari dua hal yaitu karena perjanjian dan atau karena undang-undang. Perikatan yang lahir dari perjanjian adalah perikatan yang timbul atas dasar sepakat berdasarkan asas kebebasan berkontrak antar para pihak. Kesepakatan tersebut berlaku dan mengikat sebagai undang-undang bagi para pihak yang terikat dengan kesepakatan tersebut (pasal 1338 KUHPerdata).Terlepas dari sumber timbulnya perikatan, setiap perikatan harus memenuhi unsur-unsur sebagai berikut[3] :a.       Hubungan hukumHubungan hukum tersebut melekatkan hak pada satu pihak dan kewajiban pada pihak lainnya. Pelanggaran oleh satu pihak atas hubungan tersebut, menempatkan hukum untuk berperan dalam pemenuhan atau pemulihannyab.      Kekayaan dan immaterialitasHubungan hukum yang dapat dinilai dengan uang merupakan suatu perikatan. Namun, sekalipun hubungan hukum tidak dapat dinilai dengan uang, apabila rasa keadilan masyarakat menghendaki agar suatu hubungan diberi akibat hukum, maka hukumpun akan melekatkan akibat huykum pada hubungan tadi sebagai suatu perikatanc.       Pihak – pihakPada setiap perikatan setidak-tidaknya harus ada satu pihak yang bertindak sebagai kreditur dan satu pihak sebagai debitur. Kreditur dan debitur dalam hal ini adalah pengertian yang luas menyangkut kepada prestasi yang dituntut dan kontraprestasi yang diharapkan. Satu kreditur dapat menjadi debitur pada saat yang sama, namun dengan prestasi dan kontraprestasi yang resiprokal. Misalnya seorang penjual adalah kreditur terhadap harga penjualannya namun adalah merupakan debitur yang mempunyai kewajiban untuk menyerahkan barang atau jasa yang diperjanjikan. Hal yang sebaliknya berlaku bagi pembeli.d.      Prestasi (objek hukum)Pasal 1234 KUHPerdata membedakan prestasi dalam bentuk :1)      Memberikan sesuatu2)      Berbuat sesuatu3)      Tidak berbuat sesuatu

  1. Asas-asas umum perjanjian

Asas-asas umum perjanjian ini pada umumnya berlaku secara universal baik dalam sistem hukum kontinental maupun dalam sistem hukum anglo saxon. Asas-asas tersebut terdapat baik secara eksplisit maupun dalam sifatnya yang implisit dalam buku III KUHPerdata tentang PerikatanAsas-asas umum perjanjian adalah[4] :a.       Asas kebebasan mengadakan perjanjian (partij otonomi)Para pihak bebas menentukan isi serta persyaratan perjanjian sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang bersifat memaksa, baik ketentuan umum maupun perundang-undangan.  b.      Asas konsensualisme (persesuaian kehendak)Timbulnya berdasarkan perjumpaan atau persesuaian kehendak, tanpa terikat dengan bentuk formalitas tertentuc.       Asas kepercayaand.      Asas kekuatan mengikatMengikat bagi para pihak, tidak saja untuk hal-hal yang secara tegas dinyatakan tetapi juga untuk yang menurut sifat persetujuan diharuskan oleh suatu kepatutan, kebiasaan, atau undang-undange.       Asas persamaan hukumf.       Asas keseimbanganAsas keseimbangan adalah asas yang menghendaki kedua belah pihak memenuhi dan melaksanakan perjanjian. Kreditur mempunyai kekuatan untuk menuntut prestasi dan jika diperlukan dapat menuntut pemenuhan prestasi melalui kekayaan debitur. Debitur memikul pula kewajiban untuk melaksanakan perjanjian itu dengan itikad baik g.      Asas kepastian hukumh.      Asas morali.        Asas kepatutanj.        Asas kebiasaanSuatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk apa yang secara tegas diatur, akan tetapi juga hal-hal yang menurut kebiasaan lazim diikuti

  1. Perjanjian baku

Dalam Undang-undang nomor 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen dinyatakan bahwa Klausula Baku adalah setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen.Secara sepintas, dapat terkesan bahwa perjanjian baku bertentangan atau tidak sejalan dengan asas-asas umum perjanjian seperti asas sepakat dan konsensual, mengingat terms and conditionnya telah ditetapkan (pre determined) secara sepihak. Namun demikian, bahwa dengan diterimanya syarat syarat tersebut oleh pihak lainnya dapat diartikan bahwa secara sukarela yang bersangkutan telah mengikatkan diri untuk menerima persyaratan persyaratan dimaksud. Mengingat penundukan sukarela yang demikian, maka penting dijaga bahwa terms and condition  tersebut memenuhi unsur-unsur keadilan, kepatutan, keseimbangan dan perlindungan bagi pihak yang secara objektif faktual berada dalam posisi yang tidak seimbang. Kondisi objektif faktual tersebut antara lain dapat berupa tidak adanya alternatif untuk mendapatkan pilihan-pilihan yang terbuka, atau tidak adanya waktu yang cukup bagi satu pihak untuk merundingkan terms and conditions atau posisi tawar yang relatif lebih lemah baik karena kedudukan monopolistis atau karena sifat barang dan/atau  jasa yang menjadi objek perjanjiannya. Kontrak baku adalah kebutuhan nyata dalam sebuah bisnis. Kebutuhan tersebut timbul mengingat sifat-sifat dari transaksi seperti berulang-ulang dan relatif homogen, berlaku umum dan massal serta telah merupakan kebiasaan dalam dunia perdagangan.Namun demikian, Undang-undang membatasi kebebasan dari satu pihak untuk mendiktekan ketentuan dan syarat-syaratnya untuk tidak bertentangan dengan asas-asas umum pada perikatan. Undang-undang no. 8 tahun 1999 dalam konsideransnya menyatakan  bahwa untuk meningkatkan harkat dan martabat konsumen perlu meningkatkan kesadaran, pengetahuan, kepedulian, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk melindungi dirinya serta menumbuhkembangkan sikap pelaku usaha yang bertanggung jawab; Selain itu juga dalam pasal 3 dinyatakan bahwa penting untuk  menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggungjawab dalam berusaha;Berdasarkan penjelasan pasal 18 ayat 1 Undang-undang nomor 8 tahun 1999, pembatasan-pembatasan pada kontrak baku justru diperlukan untuk melindungi asas kebebasan berkontrak yang berlaku secara universal itu. Selengkapnya bunyi pasal 18 Undang undang nomor 8 tahun 1999 adalah sebagai berikut : Pasal 18(1) Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian apabila:a. menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha;b. menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen;c. menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang yang dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibeli oleh konsumen;d. menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran;e. mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen;f. memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi obyek jual beli jasa;g. menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya;h. menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran.(2) Pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letak atau bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang pengungkapannya sulit dimengerti.(3) Setiap klausula baku yang telah ditetapkan oleh pelaku usaha pada dokumen atau perjanjian yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dinyatakan batal demi hukum.(4) Pelaku usaha wajib menyesuaikan klausula baku yang bertentangan dengan Undang-undang ini. Sebenarnya pengaturan perundang-undangan perlindungan konsumen ini adalah semacam lex specialist dari pengaturan umum yang ada pada perikatan dalam KUHPerdata, pada pasal 1493 dan pasal 1494 yang berbunyi sebagai berikut : Pasal 1493Kedua belah pihak, dengan persetujuan-persetujuan istimewa boleh memperluas atau mengurangi kewajiban yang ditetapkan oleh undang-undang ini dan bahkan mereka boleh mengadakan persetujuan bahwa penjual tidak wajib menanggung sesuatu apa pun.Pasal 1494Meskipun telah diperjanjikan bahwa penjual tidak akan menanggung sesuatu apa pun, ia tetap bertanggung jawab atas akibat dari suatu perbuatan yang dilakukannya, segala persetujuan yang bertentangan dengan ini adalah batal. Satu hal yang sangat jelas pada kedua produk perundang-undangan di atas adalah tidak diperbolehkannya satu pihak yang seyogianya bertanggungjawab tetapi mengalihkan atau tidak mengakui tanggungjawab tersebut, atau yang disebut sebagai klausul eksonerasi. D.          Perjanjian valet parkir sebagai perjanjian jasa untuk penitipan barangDari sisi KUHPerdata, perjanjian valet parkir dapat digolongkan sebagai perjanjian penitipan barang pada umumnya. Perjanjian penutupan barang diatur dalam KUHPerdata mulai dari pasal 1694 sampai dengan pasal 1729. Perjanjian penitipan barang ini dapat dianggap sebagai penitipan sukarela, karena pada dasarnya konsumen dapat memilih untuk memanfaatkan jasa valet parkir atau tidak.Dalam pasal 1706 dan 1707 dinyatakan sebagai berikut :Pasal 1706Penerima titipan wajib memelihara barang titipan itu dengan sebaik-baiknya seperti memelihara barang-barang kepunyaan sendiri.Pasal 1707Ketentuan dalam pasal di atas im wajib diterapkan secara lebih teliti:a.       jika penerima titipan itu yang mula-mula menawarkan diri untuk menyimpan barang itu;b.      jika ia meminta dijanjikan suatu upah untuk penitipan itu;c.       jika penitipan itu terjadi terutama untuk kepentmgan penerima titipan;d.      jika diperjanjikan dengan tegas, bahwa penerima titipan bertanggung jawab atau semua kelalaian dalam menyimpan barang titipan itu. Dari pemaparan tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya perjanjian penitipan barang adalah hal hal yang lumrah dan telah mendapat pengaturan dasar dalam KUHPerdata. Pengaturan lanjut seperti dalam Peraturan Pemerintah atau Peraturan Daerah mengenai hal ikhwal perparkiran pada umumnya atau valet parkir pada khususnya harus memperhatikan ketentuan hukum-hukum dasar dan hukum lainnya yang secara khusus mengatur mengenai perlindungan konsumen.              Bab IIIAspek hukum dalam perjanjian baku pada karcis Layanan Parkir Valet dikaitkan dengan Undang-undang nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan KonsumenBunyi perjanjian standar pada Layanan Parkir Valet pada umumnya adalah sebagai berikut :

  1. Perusahaan tidak bertanggungjawab atas kerugian yang ditimbulkan akibat kerusakan atau kehilangan kendaraan berikut isinya  dan atau kendaraan pihak ketiga maupun kecelakaan terhadap seseorang selama kendaraan Anda berada di lingkungan parkir perusahaan atau dikemudikan oleh petugas Layanan Parking Valet
  2. Apabila anda kehilangan kartu parkir, Perusahaan tidak bertanggungjawab atas kerugian yang ditimbulkan akibat penyerahan kendaraan serta isinya kepada pihak lain yang menyerahkan kartu parkir perusahaan.
  3. Segera laporkan kepada manager on duty apabila kartu parkir anda hilang. Kendaraan yang tidak diambil sampai dengan pukul ….. WIB akan disimpan di Posko Security Perusahaan
  4. Kendaraan yang tidak diambil sampai dengan pukul …. WIB, akan dikenakan denda Rp …….,-

Perjanjian tersebut dibuat dalam dalam dua bahasa, dengan versi bahasa Inggeris sebagai berikut :

  1. The Company does not accept any responsibility for any damage or loss however caused to the car and its content and or to any third party’s cas being driven by Valet Parking Staff
  2. In the event of a ticket loss, the Company will not be held liable for loss and damage to the vechicle or its content, following release to the individual in possession of the ticket
  3. Please report to the Manager on Duty immediately in the event of ticket loss. Car that is not retrieved until 11.00 PM will be kept at Company’s Post
  4. A Rp. ……,- fine will be charged if the car is not retrieved by … AM

 Apabila diperhatikan bunyi perjanjian baku yang bunyinya tercetak seperti di atas, pada dasarnya memiliki beberapa  kekeliruan mendasar. Penyimpangan dan kekeliruan dari sisi legal adalah :a.                                                       Pengelakan, pengalihan dan pembatasan tanggungjawab perusahaan valet parkirPengelakan, pengalihan dan pembatasan tanggungjawab perusahaan valet parkir dibedakan dalam dua hal, yaitu :1)                                                            Ketika berada dalam lingkungan parkir perusahaanLingkungan parkir perusahaan sepenuhnya adalah dalam domain dan wilayah penjagaan Perusahaan. Jadi adalah sesuatu yang naif dan tidak bertanggungjawab suatu perusahaan yang lingkungan kegiatan dan usahanya adalah untuk menerima penitipan barang, tetapi tidak bertanggungjawab kalau ada kehilangan di wilayah yang merupakan domainnya tersebut. Perusahaan harus berusaha dengan standar keamanan dan perlindungan yang wajar terhadap kendaraan yang dititipkan dalam lingkungan usahanya berdasarkan ketentuan yang umumnya berlaku. Suatu disclaimer atau exemption atau eksonerasi yang demikian harus dianggap batal demi hukum. Perjanjian yang ada adalah perjanjian penitipan bukan perjanjian penyewaan lahan parkir. Perjanjiannya sendiri tetap dianggap sah, namun klausul pembatasan tersebutlah yang tidak sah.[5]2)                                                            Ketika dikemudikan oleh petugas parkir perusahaanKlausul yang mengelak dari tanggungjawab oleh perusahaan, ketika dikemudikan petugas parkir perusahaan baik terhadap kerusakan dan kehilangan kendaraan maupun isinya serta terhadap pihak ketiga lainnya adalah salah satu klausul yang sangat naif dan menjungkir balikkan logika. Pada hal asas yang umum dalam hukum, adalah bahwa hukum itu harus mengikuti dan bersetuju terhadap hal-hal yang rasional, atau yang dikenal dengan istilah Lex semper intendit quod convenit rationi.[6]Perusahaan atau petugas perusahaan ketika menerima mobil dari konsumennya untuk diparkirkan, berarti telah mengambil alih tanggungjawab untuk memarkir, menyimpan dan akan mengembalikan kendaraan dan isinya dalam keadaan sebagaimana diterima. Prinsip kecermatan, trust,  due pofessional care dan fiduciary duties dapat dianggap melekat pada perusahaan[7].Tidak ada klausul manapun pada peraturan perundang-undangan yang lain, seperti peraturan perlalu-lintasan atau peraturan asuransi kecelakaan yang mengindemnify pelaku atas kemungkinan adanya celaka, loss atau damage yang diakibatkannya.b.                                                      Ketidakseimbangan hak dan kewajiban pada terms bakuPeraturan baku perusahaan menyatakan bahwa apabila karena konsumen kehilangan kartu valet parkir, yang mengakibatkan secara keliru petugas parkir menyerahkan kendaraan kepada orang lain, maka pihak perusahaan tidak dapat dimintakan tanggungjawab atas kerugian atau kehilangan kendaraan maupun isinya. Sebagaimana diketahui dalam undang-undang perlindungan konsumen, tujuan utamanya adalah untuk :

  1. Mendorong pelaku usaha untuk bersikap jujur dan bertanggungjawab dalam menjalankan usahanya
  2. Meningkatkan daya tawar konsumen terhadap pelaku dunia usaha

Terms di atas tidak mendorong dan tidak mencerminkan pemenuhan terhadap amanat dan cita-cita undang-undang itu. Perusahaan seyogianya menerapkan prinsip kehati-hatian, profesionalisme, alertness dan lain-lain sesuai dengan spesialisasinya di bidang jasa valet parkir. Dalam hal konsumen kehilangan bukti valet parkir, perusahaan seyogianya terlebih dahulu meminta surat tanda nomor kendaraan dan bukti tambahan atau aksesorial lainnya mengenai kepemilikan kendaraan, dan tidak serta-merta membangun tembok imunitas apabila petugas valet parkir salah memberikan kendaraan kepada orang lain (yang bukan pemilik atau pengguna yang sah), hanya karena orang lain tersebut mampu menunjukkan bukti valet parkir yang mungkin tercecer dan ditemukannya.Akibat lebih jauh adalah apabila ada sindikasi kejahatan yang memalsukan kartu valet, dan menggunakannya untuk mengambil kendaraan segera setelah ditinggalkan pemiliknya yang sah, akan menjadikan pemilik kendaraan pada posisi sulit dan rawan untuk mendapatkan kembali kendaraannya. Di sisi lain, sebagaimana dilihat pada terms baku nomor satu, sekalipun pemilik kendaraan tetap menyimpan dan mampu menunjukkan kartu valet parkir pada saat dia mau mengambil kendaraannya, tidak ada jaminan bahwa dia akan diganti rugi atau dipulihkan hak-haknya manakala kendaraan dan/ atau isi kendaraan tersebut berkurang, rusak atau hilang. Seperti telah dikutip pada bab sebelumnya mengenai ketentuan-ketentuan KUHPerdata, pada dasarnya undang-undang dan ketentuan yang berlaku sebagai hukum positif tidak memberikan ruang untuk melakukan penyimpangan dari ketentuan yang ada. Terms and conditions pada lembar karcis tanda parkir valet tidak boleh diartikan sebagai lex specialist dari ketentuan undang-undang yang lebih tinggi.  Justru sebaliknya asas yang semestinya digunakan untuk menguji dan mengukur keabsahan klausul baku tersebut adalah adagium yang menyatakan bahwa ketentuan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan ketentuan yang lebih tinggi atau lex superior derogat legi inferiori. Berdasarkan asas tersebut, maka peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih rendah yang mengatur materi yang sama, maka peraturan perundang-undangan yang lebih tinggilah yang berlaku.[8] Selanjutnya apabila diuji berdasarkan ketentuan keabsahan perjanjian sebagaimana dimaksud pada pasal 1320 KUHPerdata, seyogianya perjanjian yang demikian harus dianggap bertentangan dengan kausa halal. Selanjutnya berdasarkan pasal 1324 KUHPerdata, dinyatakan bahwa suatu perjanjian sudah mengandung unsur paksaan apabila perbuatan itu sedemikian lrupa hingga dapat menakutkan seorang yang berpikiran sehat, dan apabila perbuatan itu dapat menimbulkan ketakutan pada orang tersebut bahwa dirinya atau kekayaannya terancam dengan suatu kerugian yang terang dan nyata. Demikian juga, apabila diuji dengan semangat, maksud dan diktum-diktum pada Undang-undang tentang Perlindungan Konsumen, klausul baku yang ada pada karcis valet parkir adalah bertentangan dan tidak sejalan dengan undang-undang tersebut. Pertentangan atau ketidak sesuaian dengan Undang-undang tentang Perlindungan Konsumen antara lain adalah [9]: (1)        a. pengalihan tanggung jawab pelaku usaha;b. pembuktian atas hilangnya barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen;c. menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya;(2)        Pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letak atau bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang pengungkapannya sulit dimengerti. (3)       Setiap klausula baku yang telah ditetapkan oleh pelaku usaha pada dokumen atau perjanjian yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dinyatakan batal demi hukum. (4)       Pelaku usaha wajib menyesuaikan klausula baku yang bertentangan dengan Undang-undang ini. Khusus mengenai diktum nomor (2) mengenai kesulitan membaca atau pengungkapan yang sulit dimengerti, sifatnya agak debatable karena tingkat kesulitan tersebut adalah relatif, sekalipun dengan ukuran yang normal lay-out dan font huruf-hurufnya adalah sedemikian kecil, jauh dibawah besar huruf yang normal digunakan seperti huruf-huruf surat kabar atau buku-buku bacaan.Namun demikian, andaikanpun huruf-hurufnya sedemikian tebal dan terang tercetak, hal tersebut tidak mengurangi makna bahwa konsumen tidak dalam posisi seimbang antara hak-hak dan kewajibannya dengan produsen atau pengusaha valet parkir. Kondisi take it or leave it adalah karakteristik nyata jasa valet parkir sejak konsumen memutuskan untuk menggunakan jasa tersebut. Kondisi tersebut adalah nyata dan sulit bagi konsumen untuk menegosiasikan kekhususan, kepantasan dan kepatutan dalam membuat perjanjian atau klausul baku.              Bab IVSIMPULANBerdasarkan uraian sebelumnya mengenai hakekat perjanjian berdasarkan KUHPerdata dan Undang-undang Perlindungan Konsumen, ketentuan perjanjian baku pada karcis valet parkir adalah tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku, khususnya menyangkut :

  1. Pengelakan dan pengalihan tanggungjawab pengelola jasa valet parkir kepada konsumen
  2. Ketidak seimbangan terms and conditions pada klausul valet parkir yang cenderung lebih memberatkan kepada konsumen
  3. Harapan untuk penguatan posisi tawar konsumen dan pemberian dorongan tanggungjawab kepada pengelola jasa valet parkir yang tidak atau sangat kurang

 Jakarta,   Desember 2007 Sampe L. Purba           Daftar PustakaA.                BukuBlack’s Law dictionary, fifth edition, St Paul Minn, West Publishing Co., 1979Herlien Budiono, Asas keseimbangan bagi Hukum Perjanjian Indonesia, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006IG Ray Widjaya, Hukum Perusahaan, Megapoin, Jakarta, 2007Mariam Darus Badrulzaman et.al, Kompilasi Hukum Perikatan, PT Citra Aditya Bakti, Bandung 2001R. Subekti, Aneka Perjanjian, cetakan ke 10, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 1995————–, Hukum Perjanjian, cetakan ke 21, PT Intermasa, Jakarta 2005Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum, Penerbit Liberty Yogyakarta, 2004B.                 Perundang-undanganKitab Undang-Undang Hukum PerdataUndang-Undang nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen


[1] R. Subekti, Aneka Perjanjian, cetakan ke 10, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 1995, hal. 3

[2] R. Subekti, Hukum Perjanjian, cetakan ke 21, PT Intermasa, Jakarta 2005, hal. 30

[3] Mariam Darus Badrulzaman et.al, Kompilasi Hukum Perikatan, PT Citra Aditya Bakti, Bandung 2001, hal. 1-4

[4] Herlien Budiono, Asas keseimbangan bagi Hukum Perjanjian Indonesia, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006, hal. 95-113

[5] Dalam kasus yang hampir sama, majelis kasasi MA ‘menolak’ kasasi secure parking dalam perkara nomor 1264K/Pdt/2005 dan menghukum Secure Parking membayar kehilangan mobil yang dialami konsumennya.

[6] Lex semper intendit quod convenit rationi means the law always intends what is agreable to reason, cf. Black’s law dictionary, fifth edition, St Paul Minn, West Publishing Co., 1979, hal. 822

[7] Prinsip tersebut di atas, secara umum melekat pada direksi perusahaan yang mengemudikan jalannya perusahaan atas amanah pemegang saham. Sampai pada derajat tertentu analogi tersebut kiranya dapat dilekatkan pada perusahaan dan petugas valet parkir. Mengenai tanggungjawab kehati-hatian ini, dapat diperdalam pada IG Ray Widjaya, Hukum Perusahaan, Megapoin, Jakarta, 2007

[8] Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum, Penerbit Liberty Yogyakarta, 2004, hal. 122

[9] Kutipan dari beberapa pasal 18 Undang-undang nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen