Lembaga lembaga superbody – Sampe L Purba
Sampe L. Purba
Diskursus mengenai lembaga superbody ini baru-baru ini menyentak ke ruang publik yang antara lain dipicu oleh pernyataan Presiden mengenai lembaga KPK, yang antara lain beliau sampaikan bahwa “power must not go uncontrol”. Ada kekuatiran dan kerisauan bahwa apabila ada suatu lembaga, yang pertanggungjawabannya hanya kepada Tuhan yang maha kuasa, dan tidak kepada institusi yang lain, akan dapat kebablasan, sebab bagaimanapun semua pengemban amanah adalah manusia biasa yang memiliki kelemahan, kekeliruan dan dapat tergoda atau tergelincir kepada penyalah gunaan kekuasaan.
Dalam konsep tata kelola institusi yang baik ( good institutional governance), suatu institusi harus memiliki akuntabilitas terukur, responsibilitas yang jelas, transparansi kinerja di samping independensi dalam pengambilan keputusan. Hanya dengan aturan main yang demikian suatu independensi tidak akan terselewengkan atau tidak akan go uncontrol (meminjam istilah Presiden). Adagium yang sudah teruji secara empiris adalah bahwa power tends to corrupt, and absolute power corrupt absolutely.
Tulisan ini akan mencoba mengulas mengenai hal-hal seputar lembaga superbody di negeri ini, yang akan ditinjjau dari beberapa aspek yaitu pendirian suatu lembaga, mekanisme pertanggungjawabannya, kekuatan daya mengikat putusannya, diskresi yang dimilikinya, maupun banding terhadapnya, serta seleksi atas keanggotaannya. Selanjutnya dengan mematut-matutkan kepada kriteria kriteria tersebut akan dicoba ulas, ternyata banyak sekali lembaga di negeri ini yang tampilan dan pendiriannya atau bahkan maksud didirikannya adalah sebagai lembaga superbody. Penulis tidak berpretensi bahwa pembaca akan setuju dengan pendapat ini, namun dengan mengikuti bingkai kriteria yang penulis buat, pembahasan lembaga superbody tersebut akan dibedah dalam uraian berikut ini.
Beberapa lembaga yang dicoba kaji, yang sering dipersepsikan sebagian kalangan sebagai memiliki independensi dan power yang massif setidaknya ada lima lembaga yaitu : KPK, BPK, DPR, KPPU dan DitJen Pajak.
KPK
KPK atau Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang dibentuk berdasarkan Undang-undang Nomor 30 tahun 2002 pada konsiderans menimbang secara gagah menyatakan bahwa pembentukan lembaga ini adalah karena lembaga-lembaga pemerintah yang menangani tindak pidana korupsi belum berfungsi secara efektif dan efisien dalam memberantas tindak pidana korupsi. Korupsi dianggap merupakan momok yang merugikan keuangan negara, perekonomian negara dan menghambat pembangunan nasional.
Undang-undang ini terdiri dari 72 pasal, yang hampir keseluruhan pasal-pasalnya mencerminkan kemahasuperan badan ini. Dalam pengamatan penulis, pembuat undang-undang ini tampaknya mengasumsikan bahwa orang-orang yang diberikan amanah menjalankan undang-undang ini adalah orang-orang yang mumpuni, yang sudah teruji kapabilitas moralitas, intelektualitas dan spritualitasnya serta merupakan orang-orang pilihan yang telah melewati kawah candradimuka dan selalu lolos dari godaan harta, takhta maupun wanita. Undang-undang ini tidak menyisakan ruang bagi institusi lain untuk melakukan koreksi padanya. Dia adalah institusi yang bebas nilai, independen dalam kenyataan dan sikap mental ( in fact and in appearance).
Hal-hal tersebut dapat dilihat pada antara lain :
Status :
Berdasarkan pasal 3, dinyatakan bahwa KPK adalah lembaga negara yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari kekuasaan manapun.
Kewenangan:
KPK memiliki kewenangan yang embedded pada institusi itu sendiri mulai dari penyelidikan, penyidikan hingga penuntutan. Untuk mendukung operasionalnya, institusi ini berhak menyadap apapun yang dapat disadap. Negara dengan sadar dan sukarela membiarkan ruang privat warganya diterobos oleh institusi ini, apabila menurut institusi tersebut penyadapan itu adalah untuk menengarai adanya hal-hal yang dapat mengarah kepada tindak pidana korupsi.
Hal ini berbeda dengan pengaturan yang diatur dalam KUHAP, dimana wewenang penyelidikan diberikan kepada instansi kepolisian, sedangkan wewenang penuntutan ada pada instansi kejaksaan. Kewenangan KPK yang demikian, tentu saja tidak dapat menghindari adanya friksi atau setidaknya kesan friksi dan benturan dengan institusi kepolisian dan kejaksaan, sebab pada kedua institusi yang terakhir ini, tidak dicabut hak dan kewenangan untuk melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan.
Sebagai ekses dari kewenangan tumpang tindih yang demikian adalah berlomba-lombanya ketiga institusi tersebut mengumumkan kepada publik, penanganan kasus-kasus yang berhasil diselesaikannya. Masing-masing institusi harus menunjukkan kinerjanya kepada publik. Publik tidak tahu persis, apa yang dimaksud dengan penanganan kasus tersebut, apa ukuran dan kriteria sukses, dan apakah itu kasus dengan subjek atau objek yang sama, atau kasus-kasus yang berulang-ulang diungkap tetapi dengan angle dan aksentuasi yang berbeda-beda. Yang penting, running text TV akan mengumumkan jumlah kasus dan nilai moneter yang berhasil diselamatkan masing-masing institusi tersebut. Keberhasilan mana tidak pernah dikonfirmasi oleh Departemen Keuangan sebagai ada pemasukan dana segar dari hasil pengembalian dana korupsi, yang menjadi satu pos penerimaan di sisi APBN.
Siapa yang mensupervisi pemenuhan standar-standar penyelidikan dan penuntutan yang dilakukan oleh KPK. KPK dapat pula bergerak untuk memilih dan memilah kasus-kasus yang akan ditanganinya atau yang dalam perjalanannya dihentikan penerusannya ke pengadilan. Bahkan KPK berwenang untuk mengambil alih kasus-kasus yang telah ditangani oleh instansi kepolisian atau kejaksaan sepanjang menyangkut tindak pidana korupsi.
Nah, dan yang uniknya, sekali KPK meneruskan suatu kasus untuk diadili, KPK tidak berwenang untuk menerbitkan surat perintah penghentian penyidikan atau penuntutan atas kasus tersebut. Dengan demikian, asumsi yang dipegang adalah bahwa sekali suatu kasus dimajukan ke pengadilan, maka dianggap sudah memenuhi syarat subjektif dan syarat objektif untuk dikategorikan sebagai kasus tindak pidana korupsi. Hal ini dapat pula diartikan bahwa, lembaga KPK yang menangani suatu kasus, tidak memberikan status dari kasus tersebut, atau dibiarkan terkatung-katung untuk waktu yang tidak terbatas, dengan alasan untuk melengkapi dan mendalami, sebab sekali maju ke pengadilan tidak dapat lagi mundur.
Pertanggungjawaban:
Berdasarkan pasal 20, KPK hanya bertanggungjawab kepada publik dengan tata cara dan kriteria yang ditentukan sendiri oleh KPK. Sementara kepada Presiden, BPK dan DPR sifatnya hanya menyampaikan laporan. Pertanyaan krusial di sini adalah, siapa yang dimaksud dengan publik, dan bagaimana publik tersebut memberikan judgment atas misalnya suatu diskresi yang dipandang sebagian publik tidak mencerminkan harapan dan asas keadilan atas penanganan suatu kasus. Selain itu juga, tidak ada kriteria, batasan, ukuran, kedalaman informasi serta penilaian balik dari yang namanya publik itu kepada kinerja dan pelaporan KPK.
Siapa institusi publik itu? Beberapa lembaga sosial masyarakat, misalnya yang aktif memperhatikan dan mengangkat isu-isu korupsi, apakah dapat dianggap sebagai institusi publik. Siapa yang mengangkat para LSM tersebut menjadi institusi publik. Kepada siapa pula para LSM tersebut bertanggungjawab. Lalu apakah LSM ini juga bebas nilai, dan kalau ya nilai-nilai yang bagaimana. Atau apakah dengan di uploadnya suatu kasus ke dalam internet dianggap telah melaporkan kepada publik. Justru yang sering menjadi keluhan dari berbagai kalangan adalah, dengan di uploadnya berbagai penanganan kasus di internet, hal ini justru dapat dipergunakan oleh pihak-pihak yang kurang bertanggungjawab untuk menekan dan memeras subjek yang menjadi objek pemeriksaan suatu institusi superbody.
Sebetulnya, Undang-undang ini juga memberikan ruang untuk dikoreksi, yaitu dengan adanya persyaratan audit kinerja dan pertanggungjawaban keuangan. Namun, Undang-undang tidak menjelaskan lembaga mana yang dapat melakukan audit kinerja maupun pertanggungjawaban keuangan kepada KPK. Ketika belum lama ini ada inisiatif dari BPKP untuk melaksanakan hal tersebut, tidak kurang dari presiden SBY mengecam BPKP yang menyatakan itu melebihi kewenangannya, pada hal sebagai institusi negara, KPK adalah lembaga yang dibiayai oleh APBN. Berdasarkan PP yang mengatur BPKP, semua instansi atau institusi yang mendapatkan dana dari APBN, dapat menjadi objek yang akan diaudit oleh BPKP.
Siapakah yang mengoreksi kalau KPK tidak perform atau ada unsur-unsurnya yang tidak perform?. Nampaknya penyusun undang-undang KPK berasumsi bahwa orang yang didudukkan di lembaga tersebut adalah manusia-manusia super yang sudah bebas dari godaan dan kepentingan pribadi serta sepenuhnya mengabdi kepada Negara dengan mengesampingkan kepentingan pribadinya. Hal ini mengingatkan penulis kepada suatu lakon pewayangan. Resi Bisma Dewanggada yang sebetulnya menjadi pewaris sah kerajaan Hastina pura, demi kecintaan kepada Negara, dan ayahandanya Prabu Santanu, mengesampingkan seluruh kepentingan pribadinya. Salah seorang guru besar penulis, yaitu Prof. Romli yang memiliki andil signifikan dalam pembidanan Undang-undang tersebut, di suatu kelasnya pernah berkata dan menyesal telah memberi kewenangan yang terlalu luas, sebab tokh KPK adalah manusia juga yang tidak luput dari kelemahan, kesalahan dan kemungkinan godaan. Para pimpinan maupun karyawannya belumlah setingkat dengan Resi Bisma sebagaimana diuraikan di atas.
Bagaimanapun, masyarakat memerlukan kehadiran KPK. Tetapi KPK yang diperlukan adalah institusi yang dilengkapi juga dengan mekanisme check and balance. Kita tidak boleh mendirikan suatu instansi yang untouchables, tertutup dan melakukan self assessment dan self justification terhadap kinerjanya. Kita juga tidak mengharapkan terjadinya bagi-bagi kaveling antara kepolisian, kejaksaan dan KPK dalam penanganan kasus-kasus. Sebab bagaimanapun, adalah juga akan menjadi suatu draw back, kalau karena saling sungkan antar instansi, antar ketiga instansi ini menjadi seolah-olah ada kesaling pengertian yang tidak perlu diucapkan, misalnya untuk saling tidak mengganggu apa yang dikerjakan institusi institusi tersebut sepanjang menyangkut objek dan kasus yang sama.
Artikel ini masih akan dilengkapi :
Pls find enclosed pasal-pasal terkait
See U on pembahasan lembaga-lembaga superbody berikutnya
Jkt, agst 09