Aspek Hukum dalam perjanjian baku pada layanan parkir valet – Sampe L. Purba

Aspek hukum dalam perjanjian baku pada karcis Layanan Parkir Valet dikaitkan dengan ketentuan KUHPerdata dan Undang-undang nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen Bab IPendahuluanDalam sistem Hukum Perdata Indonesia, perikatan dapat timbul dari dua hal, yaitu pertama dari perjanjian atau kesepakatan para pihak dan kedua yaitu yang timbulnya karena undang-undang. Perikatan diartikan sebagai perhubungan hukum antara dua orang atau dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak yang lain ( pemenuhan prestasi) dan pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu (kontra prestasi).Hukum perjanjian dalam KUHPerdata menganut asas konsensualisme. Konsensualisme berasal dari akar kata konsensus yang berarti sepakat. Kesepakatan dapat berupa suatu perjanjian tertulis, atau lisan atau kebiasaan yang terjadi dalam satu sifat atau lingkup transaksi tertentu[1]. Pihak yang berhak menuntut prestasi (kreditur) mendapatkan perlindungan hukum untuk meminta pemenuhan, atau pemulihan atau ganti rugi dalam hal pihak yang harus memenuhi prestasi (debitur) dalam keadaan tidak dapat (baik karena tidak mampu atau sebab lainnya) memenuhi prestasi dimaksud. Perjanjian pada umumnya bersifat bilateral dan timbal balik, artinya suatu pihak yang memperoleh hak-hak dari perjanjian itu, juga menerima kewajiban-kewajiban yang merupakan kebalikan dari hak hak yang diperolehnya. Sebaliknya suatu pihak yang memikul kewajiban kewajiban juga memperoleh hak-hak yang dianggap merupakan kebalikan dari kewajiban yang dibebankan padanya[2].Asas umum perjanjian dalam KUHPerdata terdapat dalam pasal 1320 dan pasal 1321  KHUPerdata yang berbunyi : Pasal 1320. Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan 4 syarat :a)      sepakat mereka yang mengikatkan dirinya.b)      Kecakapan untuk membuat suatu perikatanc)      Suatu hal tertentu,d)     suatu sebab yang halal.Pasal 1321. Tiada sepakat yang sah apabila sepakat itu diberikan karena kekhilafan, atau diperolehnya dengan paksaan atau penipuan.Jasa pelayanan parkir valet (valet parking service), adalah salah satu contoh perjanjian yang berdasarkan asas konsensualisme dianggap telah disepakati para pihak, secara serta merta ketika konsumen pengguna jasa valet parkir (untuk kesederhanaan diartikan sebagai pemilik mobil) menyerahkan kunci mobilnya untuk diparkirkan oleh petugas parkir. Ketentuan-ketentuan yang mengatur (general terms and conditions) pada perjanjian valet parking terdapat dan tercetak pada lembaran kartu valet parkir yang diterima oleh konsumen. Ketentuan yang mengatur hak-hak dan kewajiban antara konsumen (dalam hal ini dapat dipersamakan dengan  kreditur jasa pelayanan valet parkir) dan Perusahaan (dalam hal ini dapat dipersamakan dengan debitur yang menyediakan jasa pelayanan valet parkir), merupakan perjanjian baku, yaitu perjanjian yang telah diberlakukan sepihak dan dianggap diterima oleh pihak lain seketika pihak lain tersebut menerima penawaran (accept the offer) jasa dimaksud. Dalam Undang-undang nomor 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen dinyatakan bahwa Klausula Baku adalah setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen.Prosedur baku dalam pelayanan jasa valet parkir adalah konsumen segera menyerahkan mobilnya dalam keadaan mesin menyala kepada petugas berseragam valet parking di tempat yang ditentukan (biasanya di depan lobby), dan menerima secarik tiket atau kertas sebagai bukti telah menyerahkan mobil untuk diparkirkan.Mengingat kedudukan para pihak dalam penentuan terms and conditions perjanjian baku tidak seimbang, dimana satu pihak (dalam hal ini konsumen) berada pada posisi take it or leave it, maka perjanjian baku diharapkan tetap memenuhi asas-asas lain dalam perjanjian seperti asas keseimbangan, asas kepatutan, asas itikad baik dan tidak ada cacat tersembunyi serta memenuhi rasa keadilan hukum bagi konsumen dalam meningkatkan posisi tawarnya terhadap Perusahaan yang menawarkan jasa valet parkir.  Bunyi perjanjian standar pada Layanan Parkir Valet pada umumnya adalah sebagai berikut :

  1. Perusahaan tidak bertanggungjawab atas kerugian yang ditimbulkan akibat kerusakan atau kehilangan kendaraan berikut isinya  dan atau kendaraan pihak ketiga maupun kecelakaan terhadap seseorang selama kendaraan Anda berada di lingkungan parkir perusahaan atau dikemudikan oleh petugas Layanan Parking Valet
  2. Apabila anda kehilangan kartu parkir, Perusahaan tidak bertanggungjawab atas kerugian yang ditimbulkan akibat penyerahan kendaraan serta isinya kepada pihak lain yang menyerahkan kartu parkir perusahaan.

Sedangkan dalam Undang-undang nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen mengenai klausul baku untuk tetap tegaknya asas kebebasan berkontrak berbunyi antara lain sebagai berikut : Pasal 18(1) Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian apabila:a. menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha;….e. mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen;….. (2) Pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letak atau bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang pengungkapannya sulit dimengerti.(3) Setiap klausula baku yang telah ditetapkan oleh pelaku usaha pada dokumen atau perjanjian yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dinyatakan batal demi hukum.(4) Pelaku usaha wajib menyesuaikan klausula baku yang bertentangan dengan Undang-undang ini. Makalah ini akan mengkaji dan menguji secara hukum apakah ketentuan yang tercetak pada perjanjian baku tersebut telah memenuhi asas-asas umum hukum perjanjian dan perlindungan bagi konsumen berdasarkan asas-asas hukum yang hidup di masyarakat.               Bab IIAsas-asas umum dalam suatu perjanjian

  1. Asas-asas umum perikatan

Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, bahwa perikatan dapat timbul dari dua hal yaitu karena perjanjian dan atau karena undang-undang. Perikatan yang lahir dari perjanjian adalah perikatan yang timbul atas dasar sepakat berdasarkan asas kebebasan berkontrak antar para pihak. Kesepakatan tersebut berlaku dan mengikat sebagai undang-undang bagi para pihak yang terikat dengan kesepakatan tersebut (pasal 1338 KUHPerdata).Terlepas dari sumber timbulnya perikatan, setiap perikatan harus memenuhi unsur-unsur sebagai berikut[3] :a.       Hubungan hukumHubungan hukum tersebut melekatkan hak pada satu pihak dan kewajiban pada pihak lainnya. Pelanggaran oleh satu pihak atas hubungan tersebut, menempatkan hukum untuk berperan dalam pemenuhan atau pemulihannyab.      Kekayaan dan immaterialitasHubungan hukum yang dapat dinilai dengan uang merupakan suatu perikatan. Namun, sekalipun hubungan hukum tidak dapat dinilai dengan uang, apabila rasa keadilan masyarakat menghendaki agar suatu hubungan diberi akibat hukum, maka hukumpun akan melekatkan akibat huykum pada hubungan tadi sebagai suatu perikatanc.       Pihak – pihakPada setiap perikatan setidak-tidaknya harus ada satu pihak yang bertindak sebagai kreditur dan satu pihak sebagai debitur. Kreditur dan debitur dalam hal ini adalah pengertian yang luas menyangkut kepada prestasi yang dituntut dan kontraprestasi yang diharapkan. Satu kreditur dapat menjadi debitur pada saat yang sama, namun dengan prestasi dan kontraprestasi yang resiprokal. Misalnya seorang penjual adalah kreditur terhadap harga penjualannya namun adalah merupakan debitur yang mempunyai kewajiban untuk menyerahkan barang atau jasa yang diperjanjikan. Hal yang sebaliknya berlaku bagi pembeli.d.      Prestasi (objek hukum)Pasal 1234 KUHPerdata membedakan prestasi dalam bentuk :1)      Memberikan sesuatu2)      Berbuat sesuatu3)      Tidak berbuat sesuatu

  1. Asas-asas umum perjanjian

Asas-asas umum perjanjian ini pada umumnya berlaku secara universal baik dalam sistem hukum kontinental maupun dalam sistem hukum anglo saxon. Asas-asas tersebut terdapat baik secara eksplisit maupun dalam sifatnya yang implisit dalam buku III KUHPerdata tentang PerikatanAsas-asas umum perjanjian adalah[4] :a.       Asas kebebasan mengadakan perjanjian (partij otonomi)Para pihak bebas menentukan isi serta persyaratan perjanjian sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang bersifat memaksa, baik ketentuan umum maupun perundang-undangan.  b.      Asas konsensualisme (persesuaian kehendak)Timbulnya berdasarkan perjumpaan atau persesuaian kehendak, tanpa terikat dengan bentuk formalitas tertentuc.       Asas kepercayaand.      Asas kekuatan mengikatMengikat bagi para pihak, tidak saja untuk hal-hal yang secara tegas dinyatakan tetapi juga untuk yang menurut sifat persetujuan diharuskan oleh suatu kepatutan, kebiasaan, atau undang-undange.       Asas persamaan hukumf.       Asas keseimbanganAsas keseimbangan adalah asas yang menghendaki kedua belah pihak memenuhi dan melaksanakan perjanjian. Kreditur mempunyai kekuatan untuk menuntut prestasi dan jika diperlukan dapat menuntut pemenuhan prestasi melalui kekayaan debitur. Debitur memikul pula kewajiban untuk melaksanakan perjanjian itu dengan itikad baik g.      Asas kepastian hukumh.      Asas morali.        Asas kepatutanj.        Asas kebiasaanSuatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk apa yang secara tegas diatur, akan tetapi juga hal-hal yang menurut kebiasaan lazim diikuti

  1. Perjanjian baku

Dalam Undang-undang nomor 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen dinyatakan bahwa Klausula Baku adalah setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen.Secara sepintas, dapat terkesan bahwa perjanjian baku bertentangan atau tidak sejalan dengan asas-asas umum perjanjian seperti asas sepakat dan konsensual, mengingat terms and conditionnya telah ditetapkan (pre determined) secara sepihak. Namun demikian, bahwa dengan diterimanya syarat syarat tersebut oleh pihak lainnya dapat diartikan bahwa secara sukarela yang bersangkutan telah mengikatkan diri untuk menerima persyaratan persyaratan dimaksud. Mengingat penundukan sukarela yang demikian, maka penting dijaga bahwa terms and condition  tersebut memenuhi unsur-unsur keadilan, kepatutan, keseimbangan dan perlindungan bagi pihak yang secara objektif faktual berada dalam posisi yang tidak seimbang. Kondisi objektif faktual tersebut antara lain dapat berupa tidak adanya alternatif untuk mendapatkan pilihan-pilihan yang terbuka, atau tidak adanya waktu yang cukup bagi satu pihak untuk merundingkan terms and conditions atau posisi tawar yang relatif lebih lemah baik karena kedudukan monopolistis atau karena sifat barang dan/atau  jasa yang menjadi objek perjanjiannya. Kontrak baku adalah kebutuhan nyata dalam sebuah bisnis. Kebutuhan tersebut timbul mengingat sifat-sifat dari transaksi seperti berulang-ulang dan relatif homogen, berlaku umum dan massal serta telah merupakan kebiasaan dalam dunia perdagangan.Namun demikian, Undang-undang membatasi kebebasan dari satu pihak untuk mendiktekan ketentuan dan syarat-syaratnya untuk tidak bertentangan dengan asas-asas umum pada perikatan. Undang-undang no. 8 tahun 1999 dalam konsideransnya menyatakan  bahwa untuk meningkatkan harkat dan martabat konsumen perlu meningkatkan kesadaran, pengetahuan, kepedulian, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk melindungi dirinya serta menumbuhkembangkan sikap pelaku usaha yang bertanggung jawab; Selain itu juga dalam pasal 3 dinyatakan bahwa penting untuk  menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggungjawab dalam berusaha;Berdasarkan penjelasan pasal 18 ayat 1 Undang-undang nomor 8 tahun 1999, pembatasan-pembatasan pada kontrak baku justru diperlukan untuk melindungi asas kebebasan berkontrak yang berlaku secara universal itu. Selengkapnya bunyi pasal 18 Undang undang nomor 8 tahun 1999 adalah sebagai berikut : Pasal 18(1) Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian apabila:a. menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha;b. menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen;c. menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang yang dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibeli oleh konsumen;d. menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran;e. mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen;f. memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi obyek jual beli jasa;g. menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya;h. menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran.(2) Pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letak atau bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang pengungkapannya sulit dimengerti.(3) Setiap klausula baku yang telah ditetapkan oleh pelaku usaha pada dokumen atau perjanjian yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dinyatakan batal demi hukum.(4) Pelaku usaha wajib menyesuaikan klausula baku yang bertentangan dengan Undang-undang ini. Sebenarnya pengaturan perundang-undangan perlindungan konsumen ini adalah semacam lex specialist dari pengaturan umum yang ada pada perikatan dalam KUHPerdata, pada pasal 1493 dan pasal 1494 yang berbunyi sebagai berikut : Pasal 1493Kedua belah pihak, dengan persetujuan-persetujuan istimewa boleh memperluas atau mengurangi kewajiban yang ditetapkan oleh undang-undang ini dan bahkan mereka boleh mengadakan persetujuan bahwa penjual tidak wajib menanggung sesuatu apa pun.Pasal 1494Meskipun telah diperjanjikan bahwa penjual tidak akan menanggung sesuatu apa pun, ia tetap bertanggung jawab atas akibat dari suatu perbuatan yang dilakukannya, segala persetujuan yang bertentangan dengan ini adalah batal. Satu hal yang sangat jelas pada kedua produk perundang-undangan di atas adalah tidak diperbolehkannya satu pihak yang seyogianya bertanggungjawab tetapi mengalihkan atau tidak mengakui tanggungjawab tersebut, atau yang disebut sebagai klausul eksonerasi. D.          Perjanjian valet parkir sebagai perjanjian jasa untuk penitipan barangDari sisi KUHPerdata, perjanjian valet parkir dapat digolongkan sebagai perjanjian penitipan barang pada umumnya. Perjanjian penutupan barang diatur dalam KUHPerdata mulai dari pasal 1694 sampai dengan pasal 1729. Perjanjian penitipan barang ini dapat dianggap sebagai penitipan sukarela, karena pada dasarnya konsumen dapat memilih untuk memanfaatkan jasa valet parkir atau tidak.Dalam pasal 1706 dan 1707 dinyatakan sebagai berikut :Pasal 1706Penerima titipan wajib memelihara barang titipan itu dengan sebaik-baiknya seperti memelihara barang-barang kepunyaan sendiri.Pasal 1707Ketentuan dalam pasal di atas im wajib diterapkan secara lebih teliti:a.       jika penerima titipan itu yang mula-mula menawarkan diri untuk menyimpan barang itu;b.      jika ia meminta dijanjikan suatu upah untuk penitipan itu;c.       jika penitipan itu terjadi terutama untuk kepentmgan penerima titipan;d.      jika diperjanjikan dengan tegas, bahwa penerima titipan bertanggung jawab atau semua kelalaian dalam menyimpan barang titipan itu. Dari pemaparan tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya perjanjian penitipan barang adalah hal hal yang lumrah dan telah mendapat pengaturan dasar dalam KUHPerdata. Pengaturan lanjut seperti dalam Peraturan Pemerintah atau Peraturan Daerah mengenai hal ikhwal perparkiran pada umumnya atau valet parkir pada khususnya harus memperhatikan ketentuan hukum-hukum dasar dan hukum lainnya yang secara khusus mengatur mengenai perlindungan konsumen.              Bab IIIAspek hukum dalam perjanjian baku pada karcis Layanan Parkir Valet dikaitkan dengan Undang-undang nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan KonsumenBunyi perjanjian standar pada Layanan Parkir Valet pada umumnya adalah sebagai berikut :

  1. Perusahaan tidak bertanggungjawab atas kerugian yang ditimbulkan akibat kerusakan atau kehilangan kendaraan berikut isinya  dan atau kendaraan pihak ketiga maupun kecelakaan terhadap seseorang selama kendaraan Anda berada di lingkungan parkir perusahaan atau dikemudikan oleh petugas Layanan Parking Valet
  2. Apabila anda kehilangan kartu parkir, Perusahaan tidak bertanggungjawab atas kerugian yang ditimbulkan akibat penyerahan kendaraan serta isinya kepada pihak lain yang menyerahkan kartu parkir perusahaan.
  3. Segera laporkan kepada manager on duty apabila kartu parkir anda hilang. Kendaraan yang tidak diambil sampai dengan pukul ….. WIB akan disimpan di Posko Security Perusahaan
  4. Kendaraan yang tidak diambil sampai dengan pukul …. WIB, akan dikenakan denda Rp …….,-

Perjanjian tersebut dibuat dalam dalam dua bahasa, dengan versi bahasa Inggeris sebagai berikut :

  1. The Company does not accept any responsibility for any damage or loss however caused to the car and its content and or to any third party’s cas being driven by Valet Parking Staff
  2. In the event of a ticket loss, the Company will not be held liable for loss and damage to the vechicle or its content, following release to the individual in possession of the ticket
  3. Please report to the Manager on Duty immediately in the event of ticket loss. Car that is not retrieved until 11.00 PM will be kept at Company’s Post
  4. A Rp. ……,- fine will be charged if the car is not retrieved by … AM

 Apabila diperhatikan bunyi perjanjian baku yang bunyinya tercetak seperti di atas, pada dasarnya memiliki beberapa  kekeliruan mendasar. Penyimpangan dan kekeliruan dari sisi legal adalah :a.                                                       Pengelakan, pengalihan dan pembatasan tanggungjawab perusahaan valet parkirPengelakan, pengalihan dan pembatasan tanggungjawab perusahaan valet parkir dibedakan dalam dua hal, yaitu :1)                                                            Ketika berada dalam lingkungan parkir perusahaanLingkungan parkir perusahaan sepenuhnya adalah dalam domain dan wilayah penjagaan Perusahaan. Jadi adalah sesuatu yang naif dan tidak bertanggungjawab suatu perusahaan yang lingkungan kegiatan dan usahanya adalah untuk menerima penitipan barang, tetapi tidak bertanggungjawab kalau ada kehilangan di wilayah yang merupakan domainnya tersebut. Perusahaan harus berusaha dengan standar keamanan dan perlindungan yang wajar terhadap kendaraan yang dititipkan dalam lingkungan usahanya berdasarkan ketentuan yang umumnya berlaku. Suatu disclaimer atau exemption atau eksonerasi yang demikian harus dianggap batal demi hukum. Perjanjian yang ada adalah perjanjian penitipan bukan perjanjian penyewaan lahan parkir. Perjanjiannya sendiri tetap dianggap sah, namun klausul pembatasan tersebutlah yang tidak sah.[5]2)                                                            Ketika dikemudikan oleh petugas parkir perusahaanKlausul yang mengelak dari tanggungjawab oleh perusahaan, ketika dikemudikan petugas parkir perusahaan baik terhadap kerusakan dan kehilangan kendaraan maupun isinya serta terhadap pihak ketiga lainnya adalah salah satu klausul yang sangat naif dan menjungkir balikkan logika. Pada hal asas yang umum dalam hukum, adalah bahwa hukum itu harus mengikuti dan bersetuju terhadap hal-hal yang rasional, atau yang dikenal dengan istilah Lex semper intendit quod convenit rationi.[6]Perusahaan atau petugas perusahaan ketika menerima mobil dari konsumennya untuk diparkirkan, berarti telah mengambil alih tanggungjawab untuk memarkir, menyimpan dan akan mengembalikan kendaraan dan isinya dalam keadaan sebagaimana diterima. Prinsip kecermatan, trust,  due pofessional care dan fiduciary duties dapat dianggap melekat pada perusahaan[7].Tidak ada klausul manapun pada peraturan perundang-undangan yang lain, seperti peraturan perlalu-lintasan atau peraturan asuransi kecelakaan yang mengindemnify pelaku atas kemungkinan adanya celaka, loss atau damage yang diakibatkannya.b.                                                      Ketidakseimbangan hak dan kewajiban pada terms bakuPeraturan baku perusahaan menyatakan bahwa apabila karena konsumen kehilangan kartu valet parkir, yang mengakibatkan secara keliru petugas parkir menyerahkan kendaraan kepada orang lain, maka pihak perusahaan tidak dapat dimintakan tanggungjawab atas kerugian atau kehilangan kendaraan maupun isinya. Sebagaimana diketahui dalam undang-undang perlindungan konsumen, tujuan utamanya adalah untuk :

  1. Mendorong pelaku usaha untuk bersikap jujur dan bertanggungjawab dalam menjalankan usahanya
  2. Meningkatkan daya tawar konsumen terhadap pelaku dunia usaha

Terms di atas tidak mendorong dan tidak mencerminkan pemenuhan terhadap amanat dan cita-cita undang-undang itu. Perusahaan seyogianya menerapkan prinsip kehati-hatian, profesionalisme, alertness dan lain-lain sesuai dengan spesialisasinya di bidang jasa valet parkir. Dalam hal konsumen kehilangan bukti valet parkir, perusahaan seyogianya terlebih dahulu meminta surat tanda nomor kendaraan dan bukti tambahan atau aksesorial lainnya mengenai kepemilikan kendaraan, dan tidak serta-merta membangun tembok imunitas apabila petugas valet parkir salah memberikan kendaraan kepada orang lain (yang bukan pemilik atau pengguna yang sah), hanya karena orang lain tersebut mampu menunjukkan bukti valet parkir yang mungkin tercecer dan ditemukannya.Akibat lebih jauh adalah apabila ada sindikasi kejahatan yang memalsukan kartu valet, dan menggunakannya untuk mengambil kendaraan segera setelah ditinggalkan pemiliknya yang sah, akan menjadikan pemilik kendaraan pada posisi sulit dan rawan untuk mendapatkan kembali kendaraannya. Di sisi lain, sebagaimana dilihat pada terms baku nomor satu, sekalipun pemilik kendaraan tetap menyimpan dan mampu menunjukkan kartu valet parkir pada saat dia mau mengambil kendaraannya, tidak ada jaminan bahwa dia akan diganti rugi atau dipulihkan hak-haknya manakala kendaraan dan/ atau isi kendaraan tersebut berkurang, rusak atau hilang. Seperti telah dikutip pada bab sebelumnya mengenai ketentuan-ketentuan KUHPerdata, pada dasarnya undang-undang dan ketentuan yang berlaku sebagai hukum positif tidak memberikan ruang untuk melakukan penyimpangan dari ketentuan yang ada. Terms and conditions pada lembar karcis tanda parkir valet tidak boleh diartikan sebagai lex specialist dari ketentuan undang-undang yang lebih tinggi.  Justru sebaliknya asas yang semestinya digunakan untuk menguji dan mengukur keabsahan klausul baku tersebut adalah adagium yang menyatakan bahwa ketentuan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan ketentuan yang lebih tinggi atau lex superior derogat legi inferiori. Berdasarkan asas tersebut, maka peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih rendah yang mengatur materi yang sama, maka peraturan perundang-undangan yang lebih tinggilah yang berlaku.[8] Selanjutnya apabila diuji berdasarkan ketentuan keabsahan perjanjian sebagaimana dimaksud pada pasal 1320 KUHPerdata, seyogianya perjanjian yang demikian harus dianggap bertentangan dengan kausa halal. Selanjutnya berdasarkan pasal 1324 KUHPerdata, dinyatakan bahwa suatu perjanjian sudah mengandung unsur paksaan apabila perbuatan itu sedemikian lrupa hingga dapat menakutkan seorang yang berpikiran sehat, dan apabila perbuatan itu dapat menimbulkan ketakutan pada orang tersebut bahwa dirinya atau kekayaannya terancam dengan suatu kerugian yang terang dan nyata. Demikian juga, apabila diuji dengan semangat, maksud dan diktum-diktum pada Undang-undang tentang Perlindungan Konsumen, klausul baku yang ada pada karcis valet parkir adalah bertentangan dan tidak sejalan dengan undang-undang tersebut. Pertentangan atau ketidak sesuaian dengan Undang-undang tentang Perlindungan Konsumen antara lain adalah [9]: (1)        a. pengalihan tanggung jawab pelaku usaha;b. pembuktian atas hilangnya barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen;c. menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya;(2)        Pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letak atau bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang pengungkapannya sulit dimengerti. (3)       Setiap klausula baku yang telah ditetapkan oleh pelaku usaha pada dokumen atau perjanjian yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dinyatakan batal demi hukum. (4)       Pelaku usaha wajib menyesuaikan klausula baku yang bertentangan dengan Undang-undang ini. Khusus mengenai diktum nomor (2) mengenai kesulitan membaca atau pengungkapan yang sulit dimengerti, sifatnya agak debatable karena tingkat kesulitan tersebut adalah relatif, sekalipun dengan ukuran yang normal lay-out dan font huruf-hurufnya adalah sedemikian kecil, jauh dibawah besar huruf yang normal digunakan seperti huruf-huruf surat kabar atau buku-buku bacaan.Namun demikian, andaikanpun huruf-hurufnya sedemikian tebal dan terang tercetak, hal tersebut tidak mengurangi makna bahwa konsumen tidak dalam posisi seimbang antara hak-hak dan kewajibannya dengan produsen atau pengusaha valet parkir. Kondisi take it or leave it adalah karakteristik nyata jasa valet parkir sejak konsumen memutuskan untuk menggunakan jasa tersebut. Kondisi tersebut adalah nyata dan sulit bagi konsumen untuk menegosiasikan kekhususan, kepantasan dan kepatutan dalam membuat perjanjian atau klausul baku.              Bab IVSIMPULANBerdasarkan uraian sebelumnya mengenai hakekat perjanjian berdasarkan KUHPerdata dan Undang-undang Perlindungan Konsumen, ketentuan perjanjian baku pada karcis valet parkir adalah tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku, khususnya menyangkut :

  1. Pengelakan dan pengalihan tanggungjawab pengelola jasa valet parkir kepada konsumen
  2. Ketidak seimbangan terms and conditions pada klausul valet parkir yang cenderung lebih memberatkan kepada konsumen
  3. Harapan untuk penguatan posisi tawar konsumen dan pemberian dorongan tanggungjawab kepada pengelola jasa valet parkir yang tidak atau sangat kurang

 Jakarta,   Desember 2007 Sampe L. Purba           Daftar PustakaA.                BukuBlack’s Law dictionary, fifth edition, St Paul Minn, West Publishing Co., 1979Herlien Budiono, Asas keseimbangan bagi Hukum Perjanjian Indonesia, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006IG Ray Widjaya, Hukum Perusahaan, Megapoin, Jakarta, 2007Mariam Darus Badrulzaman et.al, Kompilasi Hukum Perikatan, PT Citra Aditya Bakti, Bandung 2001R. Subekti, Aneka Perjanjian, cetakan ke 10, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 1995————–, Hukum Perjanjian, cetakan ke 21, PT Intermasa, Jakarta 2005Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum, Penerbit Liberty Yogyakarta, 2004B.                 Perundang-undanganKitab Undang-Undang Hukum PerdataUndang-Undang nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen


[1] R. Subekti, Aneka Perjanjian, cetakan ke 10, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 1995, hal. 3

[2] R. Subekti, Hukum Perjanjian, cetakan ke 21, PT Intermasa, Jakarta 2005, hal. 30

[3] Mariam Darus Badrulzaman et.al, Kompilasi Hukum Perikatan, PT Citra Aditya Bakti, Bandung 2001, hal. 1-4

[4] Herlien Budiono, Asas keseimbangan bagi Hukum Perjanjian Indonesia, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006, hal. 95-113

[5] Dalam kasus yang hampir sama, majelis kasasi MA ‘menolak’ kasasi secure parking dalam perkara nomor 1264K/Pdt/2005 dan menghukum Secure Parking membayar kehilangan mobil yang dialami konsumennya.

[6] Lex semper intendit quod convenit rationi means the law always intends what is agreable to reason, cf. Black’s law dictionary, fifth edition, St Paul Minn, West Publishing Co., 1979, hal. 822

[7] Prinsip tersebut di atas, secara umum melekat pada direksi perusahaan yang mengemudikan jalannya perusahaan atas amanah pemegang saham. Sampai pada derajat tertentu analogi tersebut kiranya dapat dilekatkan pada perusahaan dan petugas valet parkir. Mengenai tanggungjawab kehati-hatian ini, dapat diperdalam pada IG Ray Widjaya, Hukum Perusahaan, Megapoin, Jakarta, 2007

[8] Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum, Penerbit Liberty Yogyakarta, 2004, hal. 122

[9] Kutipan dari beberapa pasal 18 Undang-undang nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

Pengadilan pajak

Pengadilan Pajak Ketidakseimbangan posisi hukum (legal standing)  bagi para pembayar pajak – pencari keadilan dalam sengketa perpajakan Bab I Pendahuluan 

Undang –undang nomor 14 tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak merupakan suatu perangkat dan sarana  hukum yang disediakan untuk menyelesaikan adanya sengketa perpajakan antara pembayar pajak dengan aparat pajak. Ditinjau dari struktur dan muatan pada undang-undang tersebut terasa adanya ketidak seimbangan posisi antara para wajib pajak pencari keadilan dengan petugas pajak dalam hal terjadinya sengketa perpajakan. Ada tiga hal yang akan dibahas dalam tulisan ini dalam kaitannya dengan teori hukum Ketiga hal tersebut adalah satu dari segi bentuk formal pengadilan pajak yang berada di bawah kewenangan administratif eksekutif, dan kedua dari segi substansi dimana pengadilan pajak tidak mengenal upaya banding untuk memberi kesempatan para pencari keadilan menemukan kebenaran hakiki, serta yang ketiga adalah adanya kewajiban bagi para pencari keadilan untuk menyetor terlebih dahulu sejumlah 50% dari nilai uang yang dipersengketakan kepada Pemerintah sementara sengketa tersebut akan diperiksa.

Hukum yang adil adalah hukum yang memberi ruang kepada para pencari keadilan untuk didengar dan dipertimbangkan keberatan-keberatannya manakala hak-haknya dilanggar orang lain atau kepadanya dibebankan suatu kewajiban melebihi yang sepatutnya diembannya. Hukum yang adil adalah juga hukum yang memihak secara seimbang kepada keadilan, dan yang dari semula dikonstruksikan memberikan kesempatan yang sama kepada para pihak untuk mempertahankan dan membela hak-haknya.

Masyarakat  akan mentaati hukum manakala hukum tersebut mencerminkan  perasaan keseimbangan dan keadilan serta merupakan sublimasi dari kesadaran hukum rakyat secara umum, demikian antara lain yang dikenal dalam doktrin teori kedaulatan hukum.[1]

Sengketa perpajakan pada dasarnya adalah sengketa antara individual atau badan hukum privat dengan birokrat negara. Mengingat birokrat negara dilengkapi dengan mandat hukum yang memaksa dan hukum yang mengatur, sementara individual atau badan hukum privat hanya berada dalam kondisi yang praktis objektif dalam posisi lebih lemah untuk membela diri terhadap suatu beslit penetapan perpajakan, maka adalah penting dibuka saluran-saluran pencarian keadilan bagi masyarakat. Saluran atau sarana pencarian keadilan tersebutlah yang sesungguhnya mengembalikan posisi masyarakat ke arah ekuilibrium dan pendulum tengah, mana kala dia sebagai warga atau kawula berhadapan dengan Pemerintah.

Negara, berdasarkan legitimasi mandat yang diperolehnya serta melalui saluran perangkat demokrasi yang ada, dimungkinkan untuk membuat undang-undang atau peraturan yang mengikat kepada seluruh masyarakat untuk tetap tegaknya kekuasaan tersebut. Namun demikian adalah penting senantiasa mencari dan merumuskan hukum, termasuk perundang-undangan di dalamnya yang memberi nyawa sebagai perwujudan values atau nilai-nilai yang tumbuh di masyarakat, sehingga hukum yang demikian dikenal sebagai hukum yang hidup (the living law)[2]

Suatu hukum yang adil dalam pengertian yang lebih luas, dan perikatan dalam pengertian yang lebih spesifik dan sempit hendaknya dapat mencapai keseimbangan antara kepentingan sendiri dan kepentingan terkait dengan pihak lawan.[3]

                Bab II Landasan teoretis pemajakan dan pengadilan pajak 2.1      Landasan teoretis pemajakan

Pemajakan pada dasarnya adalah perwujudan dari keseimbangan prestasi dan kontraprestasi yang sifatnya tidak langsung antara pembayar pajak dengan negara atau aparaturnya sebagai pemungut pajak. Pajak timbul dari bertambahnya kemampuan ekonomis, atau adanya kekayaan maupun transaksi yang memenuhi syarat objektif untuk dikenai pajak. Premis dasar dari timbulnya objek pajak tersebut adalah karena adanya kontribusi dari negara baik dalam bentuk penyediaan prasarana, sarana bertransaksi atau perlindungan hukum sehingga transaksi dan penambahan kemampuan ekonomis dapat tercipta. Kontribusi dari negara tersebut dapat diartikan sebagai prestasi negara, dan untuk itulah seseorang atau badan hukum yang menikmati prestasi negara tersebut memberikan kontraprestasi berupa pajak. Jadi dengan perkataan lain, apabila tidak ada kontribusi dari Negara baik secara langsung maupun tidak langsung untuk terciptanya objek pajak, maka tidak ada juga landasan objektif bagi negara untuk memungut pajak. Adapun landasan subjektifnya akan tetap ada yaitu berkaitan dengan fungsi pengayoman dari pada negara kepada para warganya, untuk mana diperlukan biaya yang dipungut dari partisipasi masyarakat.

  

Teori pemungutan pajak yang lazim dikenal saat ini[4] antara lain adalah :

a.       Teori Asuransi

Warga negara yang mendapat perlindungan negara membayar pajak yang dianalogkan sebagai premi asuransi atas jaminan perlindungan tersebut.

b.      Teori Kepentingan

Pembagian beban pajak proporsional dengan kepentingan atau jaminan yang diberikan oleh negara

c.       Teori daya pikul

Beban pajak disesuaikan dengan daya pikul masing-masing, baik secara objektif yaitu penghasilan atau kekayaan yang dimiliki seseorang maupun secara subjektif yaitu berkenaan dengan besarnya kebutuhan materi yang harus dipenuhi.

d.      Teori bakti

Sebagai warga negara yang berbakti, rakyat harus selalu menyadari bahwa pembayaran pajak adalah sebagai kewajiban

e.       Teori asas daya beli

Negara mengurangi atau menarik daya beli dari rumah tangga masyarakat, dan mengumpulkannya ke rumah tangga negara yang selanjutnya menyalurkannya kembali kepada masyarakat dalam bentuk pemeliharaan kesejahteraan masyarakat.

 

Dari kelima teori yang lazim tersebut di atas, menurut penulis teori keempat yaitu teori bakti sama sekali mengingkari premis dasar pemajakan sebagai muara dan kulminasi keseimbangan antara prestasi yang diberikan negara dan kontraprestasi yang diberikan oleh masyarakat. Teori tersebut dapat dipandang sebagai cerminan arogansi penguasa yang merasa bahwa secara alami dan ditakdirkan memang pada hakekatnyalah kawula itu berbakti tanpa perlu meminta akuntabilitas yang seimbang dari penguasa. Pengingkaran atau pengesampingan atau pengabaian  semangat akuntabilitas sampai pada tingkat tertentu tercermin dalam landasan undang-undang pengadilan pajak yang menurut hemat penulis kurang memberi kesempatan yang seimbang (an equal level of playing field) bagi pembayar pajak dalam hal adanya sengketa pajak dengan penguasa atau negara. Bahkan pembayar pajak, atau yang sebutan universalnya adalah tax payer, dalam khasanah peraturan perundang-undangan di Indonesia malah diterjemahkan sebagai wajib pajak. Penyebutan wajib pajak mengkonotasikan kiblat yang lebih berat kepada teori bakti, sedangkan kalau disemangati keempat teori lainnya, sebutan tax payer itu harusnya diterjemahkan adalah pembayar pajak.

 

2.2       Landasan yuridis pengadilan pajak

 

Konotasi pengertian dari pengadilan pajak adalah karena adanya sengketa, atau beda pendapat dan tafsir baik atas pemahaman, penerapan maupun akibat dari suatu penerapan ketentuan perpajakan. Pencarian keadilan dalam perpajakan pada prinsipnya dalam doktrin-doktrin klasik memang tetap dimungkinkan.

Prinsip yang harus menjadi pegangan tersebut antara lain adalah[5] :

a.       Prinsip kesamaan/ keadilan (equity)

Beban pajak harus mencerminkan kemampuan relatif pembayar pajak

b.      Prinsip kepastian (certainty)

Pengertian pemahaman harus tegas, pasti dan tidak memberikan multi tafsir

c.       Prinsip kelayakan (convenience)

Pemungut pajak tidak harus melakukan penekanan (coerciveness) kepada pembayar pajak

d.      Prinsip economy (economy)

Biaya pemungutan jangan lebih besar dari penerimaannya

 

Hubungan hukum antara fiskus dengan pemerintah adalah hubungan perikatan yang lahir karena Undang-undang. Sebagaimana diketahui dalam doktrin, bahwa perikatan dapat lahir karena perjanjian maupun karena undang-undang. Karena karakteristik hubungan hukumnya adalah hubungan yang lahir karena Undang-undang, maka tidak diperlukan kesepakatan atau persesuaian kehendak atau pendapat antara pembayar pajak  dan Pemerintah. Hubungan hukum antara pihak Pemerintah dengan pembayar pajak menempatkan para pihak tidak dalam kedudukan sederajat. Pemerintah (fiskus) memiliki kedudukan yang lebih tinggi dan lebih kuat dibandingkan dengan pembayar pajak[6].

Namun demikian, hukum harus berfungsi sebagai alat penjaga keseimbangan dan keharmonisan (balancing). Fungsi hukum dapat menjaga keseimbangan dan keharmonisan antara kepentingan negara/ kepentingan umum dan kepentingan perorangan[7].

Seperti telah dijelaskan sebelumnya, substansi pengadilan adalah pada kata dasar “adil”. Adil dalam pengertian, bahwa para pihak yang bersengketa diberikan kesempatan yang sama untuk menguji dan mempertahankan diri atas subjek maupun objek yang dipersengketakan. Unsur pengadilan hukum hendaknya tidak saja menyangkut penegakan hukum tetapi juga adalah perlindungan hukum.

Penegakan hukum merupakan serangkaian aktivitas, upaya dan tindakan melalui organisasi berbagai instrumen untuk mewujudkan apa yang dicita-citakan oleh penyusun hukum atau undang-undang tersebut[8].  Di dalam pengertian penegakan hukum tersebut juga termasuk penyuluhan, sosialisasi dan pendidikan serta bimbingan agar para pembayar pajak dapat mengikuti dan mematuhi undang-undang perpajakan sesuai dengan yang dicita-citakan oleh undang-undang atau peraturan di bidang perpajakan.

Sejatinya, posisi pembayar pajak terhadap negara adalah sangat tidak seimbang. Menurut Sindian Isa Djajadiningrat[9], Pemungutan pajak adalah suatu kekuasaan yang sedemikian besarnya yang berada di tangan negara, yang bahkan “hukumnya” dapat diciptakan sendiri oleh negara. Hanya kalau kekuasaan yang besar tersebut diabdikan untuk rakyat dan kesejahteraan umum, barulah menjelma menjadi keadilan.

Timbulnya sengketa pajak, adalah setelah suatu putusan atau beslit atau penetapan yang mewajibkan pembayaran atau hukuman tertentu telah ditimpakan kepada wajib pajak. Menurut Undang-undang no.  14 tahun 2002 pasal 1 ayat 5 Sengketa Pajak adalah sengketa yang timbul dalam bidang perpajakan antara Wajib Pajak atau penanggung Pajak dengan pejabat yang berwenang sebagai akibat dikeluarkannya keputusan yang dapat diajukan banding atau gugatan kepada Pengadilan Pajak berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan, termasuk gugatan atas pelaksanaan penagihan berdasarkan Undang-undang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa.

Definisi yang dibuat undang-undang tersebut pada dasarnya sudah mencerminkan ketidak seimbangan. Seyogianya sengketa harus diperluas pengertiannya ketika masih dalam proses penentuan besar kewajiban perpajakan, bukan setelah ada penetapan oleh aparat fiskus. Sebab apabila aparat telah mengeluarkan ketetapan atau beslitnya, yang walaupun dalam proses penetapannya oleh wajib pajak dirasakan tidak mencerminkan keadilan, upaya yang terbuka baginya hanyalah proses banding atau peninjauan kembali untuk membuktikan sebaliknya. Sesuai dengan doktrin umum hukum pembuktian, maka siapa yang mendalilkan harus membuktikannya[10]. Dalam konteks ini, sang wajib pajak harus mengeluarkan dan mengerahkan energi ekstra untuk membuktikan kebenaran pada pihaknya, yang untuk mana sebetulnya dalam proses awalnya mungkin telah dirasakan ketidak adilan atau ketidak seimbangan.

Selanjutnya pada pasal 2 dinyatakan Pengadilan Pajak adalah badan peradilan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman bagi Wajib Pajak atau penanggung Pajak yang mencari keadilan terhadap Sengketa Pajak.Penjelasannya menyatakan Pengadilan Pajak adalah badan peradilan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 16 Tahun 2000, dan merupakan Badan Peradilan sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 35 Tahun 1999. Dalam proses peradilan, Undang-undang tersebut tidak membuat syarat normatif untuk mendengarkan kedua belah pihak yang bersengketa, melainkan hanya cukup mendengar keterangan aparat pemerintah/ termohon. Kehadiran pemohon keadilan hanya apabila diperlukan. Selain itu, proses penyelesaian Sengketa Pajak melalui Pengadilan Pajak hanya mewajibkan kehadiranterbanding atau tergugat, sedangkan pemohon Banding atau penggugat dapat menghadiri persidangan atas kehendaknya sendiri, kecuali apabila dipanggil oleh Hakim atas dasar alasan yang cukup jelas. Pada penjelasan umum Undang-undang no. 14 tahun 2002 menyatakan bahwa dalam hal Banding diajukan terhadap besarnya jumlah Pajak yang terutang, penyelesaian sengketa perpajakan melalui Pengadilan Pajak mengharuskan Wajib Pajak untuk melunasi 50 % (lima puluh persen) kewajiban perpajakannya terlebih dahulu. Meskipun demikian proses penyelesaian sengketa perpajakan melalui Pengadilan Pajak tidak menghalangi proses penagihan Pajak.

Sampai di sini, penulis sudah mengidentifikasi tiga ketidak seimbangan yaitu,

Pertama : Sengketa baru diakui keberadaannya setelah aparat perpajakan menetapkan jumlah kewajiban atau beban pajak bagi wajib pajak. Kedua, yaitu dalam proses beracara pada pengadilan banding, hakim hanya wajib mendengar sepihak keterangan termohon, sedangkan pemohon keadilan tidak wajib didengarkan keterangannya. Ketiga adalah dalam hal wajib pajak mengajukan banding, yang bersangkutan harus terlebih dahulu membayar atau melunrasi 50% kewajiban perpajakannya.

Menjadi pertanyaan di sini, atas asas yang mana pengadilan atau peraturan perpajakan memaksakan pembayaran 50% untuk sesuatu yang sesungguhnya masih menjadi objek sengketa. Kewajiban penyerahan 50% dari jumlah yang dipersengketakan akan dapat secara signifikan mempengaruhi kemampuan likuiditas atau solvabilitas keuangan para pencari keadilan.

Selain itu, asas presumption of innocent pun tampaknya terabaikan dalam situasi yang mengharuskan pembayaran separuh dari jumlah yang dipersengketakan.

                Bab III Ketidak seimbangan posisi hukum wajib pajak dalam sengketa pajak 

Ketidakseimbangan posisi hukum wajib pajak dalam sengketa pajak dalam pembahasan paper ini diidentifikasi dalam empat kategori sebagai berikut  :

 3.1       Ketiadaan sanksi langsung bagi petugas yang merugikan wajib pajak 

Dalam pasal 36 dan 36A Undang-undang tentang Ketentuan Umum Perpajakan UU no. 6 tahun 1983 yang dirubah dan diperbaharui terakhir dengan Undang-undang Nomor 16 tahun 2000, dinyatakan bahwa sanksi kepada petugas pajak hanya ada apabila hal tersebut merugikan negara. Tidak ada sanksi hukum yang langsung apabila karena penetapan atau keputusannya merugikan wajib pajak.

Selengkapnya pasal tersebut berbunyi sebagai berikut :

Pasal 36

(1) Direktur Jenderal Pajak dapat :
a. mengurangkan atau menghapuskan sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan yang terhutang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan dalam hal sanksi tersebut dikenakan karena kekhilafan Wajib Pajak atau bukan karena kesalahannya;

b. mengurangkan atau membatalkan ketetapan pajak yang tidak benar.

(2) Tata cara pengurangan, penghapusan, atau pembatalan hutang pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), diatur oleh Menteri Keuangan.

Pasal 36ADalam rangka meningkatkan pelayanan kepada Wajib Pajak dan meningkatkan kemampuan petugas pajak maka terhadap petugas pajak yang menghitung atau menetapkan pajak yang tidak sesuai dengan Undang-undang perpajakan yang berlaku sehingga menimbulkan kerugian negara, dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 

Sanksi yang berlaku hanyalah sanksi normatif, seperti dalam kaitannya dengan undang-undang pokok kepegawaian, seperti Undang-undang No. 8 tahun 1974 yang diubah dengan Undang-undang No. 43 tahun 1999 dan terikat dengan Peraturan Disiplin Pegawai Negeri Sipil berdasarkan  Peraturan Pemerintah Nomor 30 tahun 1980. Pada hal sesungguhnya bukan saja hanya pegawai yang bersangkutan yang harus dijatuhi sanksi, melainkan juga atasannya, Berdasarkan ketentuan pada pasal 1367 KUHPerdata atasan bertanggungjawab atas pekerjaan yang disuruh dilakukan bawahan yang mendatangkan kerugian kepada orang lain.

Peraturan-peraturan ini sifatnya hanyalah sepihak  dari institusi pegawai negeri sipil untuk mendisiplinkan karyawannya. Sedangkan seyogianya esensi keadilan itu adalah apabila pihak yang rasa keadilannya dirampas atau diganggu, memiliki hak dan saluran untuk menuntut dan mengembalikan rasa keadilan tersebut secara resiprokal.

  3.2       Kewajiban membayar sebagian dari yang dipersengketakan

Berdasarkan ketentuan pada pasal 36 ayat 4 Undang-undang Peradilan Pajak, dinyatakan bahwa banding hanya boleh dilakukan apabila sipembanding telah membayar 50% dari jumlah yang disengketakan.

Hal ini menurut penulis, adalah suatu bentuk ketidakadilan yang ditimpakan lingkungan peradilan pajak kepada wajib pajak atau penanggung pajak. Dengan membayar terlebih dahulu 50% selain secara ekonomis akan sangat membebani pencari keadilan, juga secara esensi mengandung makna bahwa ada keyakinan yang kuat atas keputusan yang diambil petugas pajak sudah benar.

Apalagi, apabila diperhatikan kewenangan yang sangat besar diberikan (vested in) bagi peradilan pajak. Berdasarkan ketentuan pasal 33 ayat 1 Pengadilan Pajak merupakan Pengadilan tingkat pertama dan terakhir dalam memeriksa dan memutus Sengketa Pajak.Pada pasal 87 UU no. 14 tahun 2002 memang memberikan kompensasi penyeimbang dalam hal wajib pajak pembanding dimenangkan sebagian atau seluruhnya yang dibanding.  Apabila putusan Pengadilan Pajak mengabulkan sebagian atau seluruh Banding, kelebihan pembayaran Pajak dikembalikan dengan ditambah imbalan bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan untuk paling lama 24 (dua puluh empat) bulan, sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku.Akan tetapi esensi dari keadilan bukan pada pemberian kompensasi atau dispensasi dalam hal penetapan beban pajak  yang dilakukan secara keliru oleh fiskus sehingga menjadi objek sengketa. Esensi keadilan tersebut pertama-tama harus tercermin dari pengakuan aparat fiskus bahwa telah terjadi kesalahan atau kekeliruan dalam menetapkan beban pajak yang menyita energi, waktu, konsentrasi atau mungkin nama baik dari wajib pajak. Kemudian, terhadap aparat yang keliru atau tidak cermat dalam melaksanakan tugas yang diembankan kepadanya, seyogianya dapat diajukan tuntutan hukum serta hukuman disiplin berdasarkan peraturan yang berlaku. Dengan demikian, akan ada kehati-hatian dari fiskus dalam berhubungan dengan penetapan pajak.  3.3       Lembaga sandera badan (gijzeling)

Penyanderaan (gijzeling) adalah tindakan penahanan terhadap debitur agar mau melunasi utangnya. Pemikirannya adalah apabila debitor ditahan kemungkinan sanak keluarganya akan berusaha untuk mengeluarkannya dari penyanderaan dengan mengumpulkan uang untuk membayar utang debitur tersebut[11].

Salah satu alasan mengapa debitur dimungkinkan mengajukan permohonan agar dirinya dinyatakan pailit, adalah untuk ditukar dengan kebebasannya[12]. Adalah sesuatu yang sangat ironis, ketika secara sengaja seseorang harus meminta dipailitkan, yang dalam esensinya membiarkan dirinya secara hukum menjadi miskin dan tidak cakap membuat perikatan-perikatan perdata, ditukar dengan kebebasan dirinya yang dikurung atau sandera badan karena sengketa perpajakan, walaupun kebebasan tersebut hanya kebebasan semu.[13]

Pasal 31 ayat 3 undang-undang no. 37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan Kewajiban Pembayaran Utang menyatakan bahwa debitur yang sedang dalam masa penahanan harus dilepaskan seketika setelah putusan pernyataan pailit diucapkan. Penjelasan pasal tersebut menyatakan bahwa yang dimaksud dengan penahanan adalah gijzeling. 

Upaya hukum dalam masa penyanderaan.

Terdapat kemungkinan Penanggung pajak yang disandera merasa dirugikan. Dalam hal demikian, yang bersangkutan dapat mengajukan gugatan terhadap pelaksanaan penyanderaan. Namun hal ini secara teoretis dan teknis menjadi sangat sulit dan limitatif untuk dilaksanakan, dengan alasan-alasan berikut :

a.       Gugatan hanya dapat diajukan ke Pengadilan Negeri yang merupakan bagian dari lembaga peradilan dalam lingkungan Peradilan Umum. Di sisi lain, penyanderaan badan adalah dalam kaitannya dengan lingkungan Pengadilan Pajak. Pembinaan organisasi, administrasi, dan keuangan bagi Pengadilan Pajak dilakukan oleh Departemen Keuangan (pasal 5 ayat 2 UU 14 tahun 2002)

Mengingat sengketa dan tindakan sandera ada pada suatu lembaga terpisah, sedangkan penggugatan harus diajukan ke lembaga dan lingkungan peradilan yang lain, hal ini secara teoretis dan teknis tidak menguntungkan (not in favor of) penanggung pajak dalam mengajukan gugatan atas  hak-hak yang dirasakannya dirugikan

b.      Gugatan hanya boleh diajukan ke Pengadilan Negeri sebelum masa penyanderaan berakhir[14]. Keputusan Direktur Jenderal Pajak No. KEP-218/PJ/2003 membatasi bahwa gugatan hanya boleh diajukan sebelum masa penyanderaan berakhir. Hal ini menurut penulis adalah sesuatu yang absurd. Bagaimana diharapkan seseorang yang kebebasannya dibatasi (dalam tahanan) mengajukan gugatan dengan optimal, sementara ketika dia sudah dibebaskan karena masa tahanannya berakhir tidak diperkenankan mengajukan gugatan.

 3.4 Sifat melakukan pengadilan dan eksekusi sendiri        

Sengketa perpajakan adalah sengketa antara penanggung pajak atau wajib pajak dengan petugas pajak. Petugas pajak atau fiskus adalah aparat dari Kementerian Keuangan. Berdasarkan doktrin umum yang berlaku dalam lingkungan hukum tidak diperkenankan melakukan pengadilan sendiri. Mengadili perkara yang terkait dengan diri sendiri, apalagi berada pada posisi yang lebih dominan pada dasarnya adalah perbuatan main hakim sendiri, atau setidak-tidaknya penyalah gunaan penguasa yang dapat dituntut berdasarkan pasal 1365 KUHPerdata (onrechmatig overheidsdaad)[15].

Penulis sangat tidak sependapat, bahwa lingkungan pengadilan pajak ditempatkan pada  lingkungan pengadilan sendiri yang lepas dari sistem peradilan umum sekalipun pembinaan teknisnya ada di bawah mahkamah agung.

Ketentuan pada pasal-pasal dalam Undang-undang nomor 14 tahun 2002, yang memberi kewenangan kepada administrasi Departemen Keuangan untuk mengadili sendiri perkara yang terkait dengan Departemen Keuangan akan dapat menghilangkan sifat independensi, netralitas dan objektivitas lingkungan, suasana dan kualitas putusan yang dihasilkan. Struktur yang demikian juga telah memposisikan birokrat Pemerintah di Departemen Keuangan menjadi pemegang dan penafsir tunggal kebenaran.

Demikian pula, kewenangan yang sangat besar dalam hal sandera badan. Penyanderaan pada hakekatnya adalah penghilangan, perampasan  atau pembatasan kebebasan bergerak yang adalah merupakan salah satu kebebasan yang paling asasi dari manusia. Hukuman dalam tahanan yang mengakibatkan orang terisolir dan tercerabut dari lingkungannya, akan dapat mempunyai pengaruh yang buruk baik mengenai jiwa maupun raga. Sistem penghukuman baik dalam bentuk sebagai akibat dari kejahatan atau pelanggaran yang dinyatakan dalam berbagai ketentuan perundang-undangan pada dasarnya adalah peristiwa pidana.[16]

Adalah terlalu berlebihan penafsiran dan pembenarannya, kalau karena hubungan hukum fiskus dengan wajib pajak dipandang sebagai bagian dari hukum publik, dan bukan hukum perdata, penerapan sanksi dengan hukuman sandera badan dapat diterapkan sepihak dalam sengketa perpajakan.

           Bab IV 

Simpulan

 

Berdasarkan uraian yang disampaikan pada bab-bab sebelumnya, penulis paper ini menyimpulkan beberapa hal sebagai berikut :

a.       Para pembayar pajak secara struktural dipersepsikan dan diperlakukan sebagai wajib pajak, dimana pemikiran dari teori bakti yang menekankan kepada loyalitas dan bakti kepada negara memberi ketidakseimbangan dalam hal ada sengketa pajak

b.      Aparat birokrat yang bertugas di bidang perpajakan memiliki imunitas yang lebih baik dalam hal ada kekeliruan atas suatu penetapan atau beslit yang mendatangkan sengketa atau kerugian bagi para pembayar pajak

c.       Lembaga pengadilan sengketa pajak, telah distrukturkan sedemikian rupa dimana para pencari keadilan di bidang perpajakan tidak memiliki ruang dan kesempatan yang optimal untuk memperjuangkan hak-haknya

d.      Sandera badan atau gijzeling baik dari substansi maksudnya maupun dari proses pemutusannya pada dasarnya tidak mencerminkan keseimbangan dan keadilan bagi para penanggung pajak yang terlibat dalam sengketa perpajakan.

  Jakarta, Desember 2007 Sampe L. Purba     Daftar Pustaka 

Herlien Budiono, Asas Keseimbangan bagi Hukum Perjanjian Indonesia, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006

 

Jusuf Anwar, Pasar Modal sebagai sarana pembiayaan dan investasi, PT Alumni, Bandung, 2005

 

Lili Rasjidi dan Ira Thania Rasjidi, Pengantar Filsafat Hukum, Mandar Maju, Bandung, 2007

 

L.J van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, PT. Paradnya Paramita, Jakarta, 2005

 

Man S. Sastrawidjaja, Hukum Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, PT Alumni, Bandung, 2006

 

Mochtar Kusumaatmadja, Konsep-konsep hukum dalam pembangunan, PT Alumni, Bandung, 20007

 

Sindian Isa Djajadiningrat, Hukum Padjak dan Keadilan, pidato pengukuhan guru besar luar biasa dalam ilmu hukum fiskal, NV Eresco, Bandung, 1965

 

Tjip Ismail, Peranan BUMN dalam Penerimaan Pendapatan Negara, Jurnal Hukum Bisnis, vol.26 no.1, 2007

 

Y. Sri Pudyatmoko, Penegakan dan perlindungan hukum di bidang pajak, Salemba empat, Jakarta 2007

   Peraturan Perundang-undangan 

Kitab Undang Undang Hukum Perdata

 

Undang-Undang 14 tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak

 

Undang16 tahun 2000 tentang perubahan kedua pada Undang-undang nomor 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum Perpajakan

 

Undang-undang no. 37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan Kewajiban Pembayaran Utang


[1] Lili Rasjidi dan Ira Thania Rasjidi, Pengantar Filsafat Hukum, Mandar Maju, Bandung, 2007, hal.84

[2]  Mochtar Kusumaatmadja, Konsep-konsep hukum dalam pembangunan, PT Alumni, Bandung, 20007, hal. 10

[3] Herlien Budiono, Asas Keseimbangan bagi Hukum Perjanjian Indonesia, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006, hal 310.

[4] Tjip Ismail, Peranan BUMN dalam Penerimaan Pendapatan Negara, Jurnal Hukum Bisnis, vol.26 no.1, 2007, hlm. 42

[5] ibid

[6] Y. Sri Pudyatmoko, Penegakan dan perlindungan hukum di bidang pajak, Salemba empat, Jakarta 2007, hlm.8

[7] Jusuf Anwar, Pasar Modal sebagai sarana pembiayaan dan investasi, PT Alumni, Bandung, 2005, hal. 33

[8] Y. Sri Pudyatmoko, op.cit, hlm. 11

[9] Sindian Isa Djajadiningrat, Hukum Padjak dan Keadilan, pidato pengukuhan guru besar luar biasa dalam ilmu hukum fiskal, NV Eresco, Bandung, 1965, hlm. 21

[10] Pasal 1965 KUHPerdata : itikad baik selamanya harus dianggap ada, sedangkan siapa yang menunjuk kepada suatu itikad buruk diwajibkan membuktikannya.

[11] Man S. Sastrawidjaja, Hukum Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, PT Alumni, Bandung, 2006, hlm.113

[12] Ibid

[13] Penulis menggunakan istilah kebebasan semu, sebab berdasarkan pasal 97 Undang-undang kepailitn, debitur pailit tidak boleh meninggalkan domisilinya tanpa izin dari hakim pengawas. Jadi praktis, ini hanya memindahkan dari kurungan/ tahanan badan menjadi tahanan rumah atau tahanan kota.

[14] Y. Sri Pudyatmoko, op.cit, hal. 126

[15] KUHPerdata pasal 1365 : Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.

[16] L.J van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, PT. Paradnya Paramita, Jakarta, 2005,  hal 330

cost recovery itu, lho

Cost recovery di industri migas  itu lho Berikut ini wawancara imaginer Mat Amat, seorang anggota masyarakat yang mewakili kerisauan masyarakat serta  mentahbiskan  dirinya sendiri sebagai pengamat industri migas dengan MasPurwanto, seorang praktisi perminyakan tangguh yang telah kenyang dengan asam garam industri migas yang kadar integritas dan kapabilitasnya telah teruji dan lolos ujian kawah candradimuka, candradisamping, candradiblakang seputar industri migas, terutama dalam kaitannya dengan cost recovery yang belakangan ini gencar di perbincangkan.  Mat Amat (Tanya –T): MasPurwanto, sebagai seorang pengamat, saya mengamati betapa akhir akhir ini ramai mengemuka di koran-koran, dan diperbincangan berbagai kalangan bahwa cost recovery di industri pengeboran migas itu membubung tinggi, hingga Pemerintah terpaksa membayar cost recovery yang sangat besar ke para Kontraktor asing itu. Bukankah sebaiknya dana besar itu lebih baik digunakan untuk membantu masyarakat kalangan bawah yang belum lepas dari badai krisis multidimensi berkelanjutan ini? (Mat Amat memulai serangannya dengan gaya pengamat intelektual yang sangat prihatin dengan nasib masyarakat bawah) MasPurwanto (Jawab-J) : Mat Amat, sampeyan itu keliru. Pemerintah tidak pernah membayar cost recovery. Cost recovery itu hanyalah sebuah peristilahan yang khas di dunia migas yang menggunakan kontrak bagi hasil antara Pemerintah dengan para kontraktor di suatu wilayah kerja pertambangan migas. Cost recovery adalah tata cara pengembalian atas biaya operasi yang telah terlebih dahulu dikeluarkan Kontraktor, dimana pengembaliannya adalah dari hasil migas yang di dapat dari wilayah kerja pertambangan tersebut. Ini lebih kurang adalah adaptasi dari pola kerja sama antara pemilik lahan (Pemerintah) dengan pemilik modal (Kontraktor), seperti pada jaman majapahit tempo doeloe dimana pemilik lahan mengontrakkan lahannya untuk dikerjakan Kontraktor, dan biaya untuk penggarapan lahan dimaksud hanya akan diganti dengan hasil bumi yang diperoleh. Kemudian sebagai upah penggarap, dari hasil sisa setelah diperhitungkan biaya menggarap, oleh pemilik lahan diberikan sebagian kepada penggarapnya – lagi lagi dalam bentuk hasil bumi itu. Artinya apa ? Apabila terjadi gagal panen, maka seluruh tenaga, biaya dan waktu yang telah dikorbankan oleh petani penggarap akan sia-sia saja dan tidak ada kewajiban pemilik lahan untuk menggantinya. T : Nah, kalau duduk perkaranya demikian, kenapa harus diserahkan kepada para Kontraktor asing? Tidakkah lebih baik urusan garap menggarap itu diserahkan kepada masyarakat sekitar? Hitung-hitung membuka lapangan kerja. Pemerintah kan tinggal kasih modal saja J : Memang, idealnya demikian. Namun jangan lupa, industri migas itu adalah industri yang padat modal, menggunakan tehnologi tinggi serta menuntut dukungan keahlian profesional yang tinggi. Selain itu, industri migas adalah industri jangka panjang, yang memerlukan stamina permodalan yang besar, serta harus mampu dan mau menanggung resiko. Pemerintah berfikir adalah lebih baik lahan ini dikerjasamakan saja dengan pihak lain, sementara sumber daya dan dana yang terbatas dapat digunakan untuk sektor sektor lainnya.T : Bukannya membela pemberdayaan lokal, malah anda terkesan mengindoktrinasi kita atas nama kepentingan pemodal. Bukankah lebih baik kita berdikari? Berdiri di atas kaki sendiri. Piye tho iki Mas? ( Mat Amat semakin berapi-api)J: Ini sebuah pilihan rasional Mas.  Faktanya kita hidup di dunia dengan settting alam globalisasi saling ketergantungan.  Pemerintah  harus cermat mengalokasikan sumber daya yang ada untuk mendapatkan return optimal dari pilihan portofolio yang dipunyainya. Pemerintah perlu untuk memilah dan memilih sektor-sektor yang perlu dikerjasamakan dengan pihak lain untuk mengalihkan resiko investasi. Kita perlu mengundang investor, baik lokal maupun asing, untuk menanamkan modalnya disini. Kerja sama atau kemitraan dan sinergi positif perlu dibangun dengan mereka, seraya tetap mengawasi dan mengendalikan operasionalisasinya. Kata kuncinya di sini adalah kita yang mengundang investor. Mereka adalah tamu. Tuan rumah yang baik dan beradab akan menghormati tamunya. Investor itu juga adalah mitra kita. Mitra dalam hal pengoptimalan sumberdaya alam  untuk berbagi keuntungan dan manfaat. Kepercayaan atau trust adalah kata kunci dalam bermitra. Sedangkan di sisi lain, sebagai bagian dari tanggungjawab konstitusionalnya, Pemerintah melalui lembaga dan institusi yang dibentuknya perlu mengatur dan mengawasi para mitranya untuk memastikan bahwa mereka bekerja sesuai aturan Kontrak yang telah disepakati. Investor adalah tamu, yang juga merupakan mitra sekaligus pekerja kontrak di bumi kita. Kita harus perlakukan mereka secara proporsional.  Jadi siklusnya begini : Investor membawa investasi, investasi menghasilkan minyak dan gas. Pengeluaran investasi dan biaya operasi dikembalikan ke investornya – yang diistilahkan cost recovery -, dan hasil investasi tersebut kita nikmati bersama. Jadi cost recovery adalah cerminan atau indikator keberhasilan suatu investasi. Bahkan cost recovery itu sendiri, pada dasarnya adalah investasi,   T: Nah, bukankah ini semacam statement bersayap ?J: Sama sekali tidak kawan. Saya ingin tegaskan di sini, bahwa cost recovery pada dasarnya adalah investasi yang telah berhasil. Semakin berhasil kita mengundang investasi untuk kegiatan pertambangan ini, semakin besar peluang kita untuk mendapatkan penghasilan dari hasil tambang migas, dan tentu saja semakin besar biaya operasi yang dapat dikembalikan (cost recovery) dari hasil tambang migas itu. Kenaikan cost recovery bisa dipandang  ibarat dua sisi mata uang yang sama. Dari satu sisi kenaikan cost recovery merupakan sebuah indikator kepercayaan investor menanamkan modalnya di sini, namun di sisi lain dapat dipersepsikan sebagai beban yang akan mengurangi bagian bagi hasil migas Pemerintah dari hasil kegiatan usaha hulu tersebut. Untuk itulah Pemerintah menerapkan kaidah-kaidah dan aturan yang ketat, terstruktur dan firm dalam pengaturan industri yang penuh resiko ini. (MasPurwanto menjelaskannya secara gamblang dan tetap dengan intonasi terjaga).T: Memangnya seberapa beresiko sih industri migas itu ?J : Dari tata waktu saja, diperlukan antara 6 – 10 tahun masa eksplorasi untuk menentukan apakah suatu wilayah kerja dapat dilanjutkan ke tahapan komersial untuk pengembangan lapangan di wilayah kerja tersebut. Biaya yang dikeluarkan selama masa eksplorasi itu bisa mencapai ratusan juta dolar Pak. Apabila berdasarkan kajian teknis dan ekonomis tidak memungkinkan untuk melanjutkan ke tahapan pengembangan lapangan, maka investasi masa eksplorasi yang ratusan juta dolar tersebut akan terbuang dan hilang percuma.  Hanya apabila dimungkinkan untuk tahapan pengembangan komersial,  ada kesempatan bagi si Kontraktor untuk mendapatkan pengembalian (to recover) investasi awal tadi. Dari segi teknis, faktor alam, ketidakpastian prediksi kandungan hydrokarbon yang mungkin dapat dieksploitasi, serta updating teknologi yang teranyar merupakan tantangan tersendiri dalam pengusahaan lanjut suatu lapangan/ ladang migas. Satu sumur eksplorasi saja, biayanya bisa puluhan juta dolar, tergantung kondisi geologis, alam serta kedalaman yang diperlukan untuk mencapai target formasi migas. Itupun belum tentu berhasil menemukan cadangan migas. Bisa-bisa dari sekian sumur yang dibor, hanya beberapa saja yang dianggap potensial dapat dieksploitasi, untuk dilanjutkan ke sumur produktif.T: Ok lah kalau dari sisi itu, tetapi sekali menemukan cadangan migas, kan tinggal panen dan minyak mentah akan menguncur sendiri ke permukaan bumi. Apa masih perlu biaya besar ?J : Begini mas., kandungan reservoar di perut bumi sana jangan dibayangkan seperti telaga atau kolam lumpur yang mengandung minyak. Minyak bumi itu berada di antara pori-pori bebatuan, yang dengan  daya rembes (permeabilitas) tertentu, terjebak dan  terkonsentrasi pada suatu reservoar dalam wadah dinding bebatuan sedemikian tebal. Kemudian karena faktor tekanan (pressure) di kedalaman perut bumi sana, minyak bumi itu  bercampur dengan air formasi dan garam bisa dialirkan ke atas melalui pipa-pipa produksi (natural flow). Namun, lama-lama seiring dengan tersedotnya minyak ke permukaan bumi, tekanan atau daya dorong dari bawah melemah, sehingga diperlukan upaya lain seperti pemanasan reservoar, atau injeksi air atau injeksi campuran kimia tertentu untuk mengencerkan kandungan formasi dan memperbesar rekahan pori bebatuan. Ini biayanya sangat besar, puluhan juta dolar mas.  Selain itu, sumur-sumur produksi harus  juga dirawat, karat-karat yang menggerogoti pipa-pipa harus dicek, belum lagi fasilitas produksi, pemrosesan hingga pengangkutannya. Dan karena sifatnya yang mudah meledak dan terbakar, diperlukan peralatan yang  ekstra prima untuk mencegah adanya kecelakaan diri, fasilitas maupun lingkungan selama proses eksploitasi. Pertambangan migas kita sudah hampir seratusan tahun. Banyak diantaranya adalah lapangan-lapangan tua. Produktivitas lapangan-lapangan tua ini semakin hari semakin rendah. Itu adalah normal dan penurunan alamiah saja. Untuk memaintain atau setidak-tidaknya mengurangi laju penurunan produksi diperlukan biaya yang semakin besar. Di sini paradoksalnya. Di satu sisi hasil produksi semakin menurun, di sisi lain biaya mengeksploitasinya semakin besar. Mohon maaf, para pengamat akan teriak, koq kenapa cost recovery meningkat sementara hasil produksi migasnya menurun. Mereka lupa, ini ibarat mobil tua yang beranjak senja. Biaya perawatan semakin besar, namun kenikmatan berkendara semakin berkurangT: Baik, tetapi bukankah seiring dengan harga minyak yang tinggi seluruh faktor biaya tadi dapat tertutupi? J: Saya senang dengan angle berfikir Saudara sekarang. Bukan cost recovery yang semestinya kita kuatirkan. Tetapi adalah seberapa banyak yang kita bisa dapat  untuk setiap dolar yang kita investasikan. Ini yang disebut revenue to cost recovery ratio. Artinya perbandingan antara hasil yang diperoleh dengan biaya untuk mengeksploitasinya.  Seiring dengan naiknya harga minyak mentah di pasaran dunia, harga-harga alat-alat produksipun meningkat tajam. Lima tahun yang lalu, ketika harga minyak mentah masih dua puluh dolaran per barel, sewa peralatan menara bor (rig) masih berkisar tujuh puluh ribu dolaran per hari., dewasa ini, ketika harga minyak bertengger di enampuluh dolaran per barel, sewa rig sudah membubung hingga dua ratus ribu dolaran per hari.  Faktor faktor produksi lain, seperti chemical, bahan bakar, bahan baja semua membubung tinggi. Namun demikian, catatan statistik menunjukkan dalam periode empat tahun terakhir, revenue to cost recovery ratio kita bergerak naik, dari 3.6 kali menjadi 5.6 kali. Artinya apa? Sekalipun faktor produksi meningkat harganya, namun margin yang diperoleh dari industri migas ini justru semakin baik. T: Kalau begitu concern kita seyogianya dimana mas ?J:Saya telah jelaskan diatas, investasi puluhan juta dolar, tentu kalau sudah berhasil menemukan migas, akan dikembalikan/ dipotongkan secara bertahap dari hasil tambang migas yang diperoleh. Memang, kita tidak boleh terlena, untuk memastikan bahwa hanya biaya yang relevan dan terkait dengan usaha pertambangan migas itulah yang dapat dikembalikan (direcover). Untuk itulah pengawasan, pengendalian dan pembinaan di sektor ini dilakukan secara berlapis. Pemerintah melalui BPMIGAS mengontrol program kerja dan anggaran tahunan para Kontraktor, rencana pengembangan lapangan, dan otorisasi untuk pembelanjaan investasi Kontraktor. Kemudian, instansi Pemerintah yang berwenang juga melakukan audit atas pelaksanaan Kontrak itu.  Bandingkan misalnya dengan penanaman modal di sektor lain, sepenuhnya diserahkan kepada investor dan pengusahanya untuk merencanakan dan mengendalikan kegiatannya, kita hanya berkepentingan dengan pelaporan hasil usahanya dan pajak-pajak yang dihitungnya. Namun demikian, perlu diingatkan, janganlah juga kita terjebak dengan pikiran jangka pendek untuk menekan rasio pertumbuhan cost recovery semata dengan mengabaikan tujuan jangka panjang.T: Apalagi maksudnya itu?J: Kita tahu, minyak dan gas bumi adalah sumber daya tidak terbarukan. Artinya,  cadangan migas yang telah dieksploitasi tidak akan muncul kembali. Ibarat air yang disedot dari kolam, kalau air tersedot habis, ya kolamnya kering. Pemerintah harus dan tetap mendorong para kontraktor migas itu untuk melakukan upaya eksplorasi baru untuk menemukan cadangan migas baik di wilayah kerja yang sudah berproduksi maupun mengundang para Kontraktor lain  di wilayah wilayah kerja (blok) baru lainnya. Telah saya jelaskan di atas, upaya eksplorasi membutuhkan biaya besar.  Seperti siklus di atas, investasi yang ditanamkan dalam suatu blok akan diperoleh penggantiannya (direcover) dari hasil tambang migas dari wilayah kerja tersebut. Ini soal pilihan bijak. Ada pepatah mengatakan… bergurulah kepada semut, yang mengumpulkan makanan pada musim kering dan menyimpannya sebagai bekal pada musim hujan. Artinya, selagi harga minyak bagus, dan ada margin yang mencukupi, Pemerintah justru harus mendorong pada kontraktornya melakukan usaha eksplorasi dan inovasi baru untuk menemukan sebanyak mungkin cadangan migas untuk bekal kita dan generasi yang akan datang. Kuncinya adalah merubah paradigma berfikirT: Paradigma berfikir yang bagaimana, mas?J: Jangan memandang cost recovery itu sebagai beban. Cost recovery harus kita pandang sebagai sebuah investasi. Naiknya investasi di suatu Negara, merupakan sebuah indikator ekonomi yang baik. Ada banyak rentetan manfaat (trickle down effect)nya, seperti pembukaan lapangan kerja, alih teknologi, penggerakan sektor riel di industri pendukung migas, dan .. untuk memastikan penyediaan bekal bagi generasi yang akan datang !!! Yang penting, sepanjang aturan mainnya dalam koridor kontrak dan peraturan perundangan kita patuhi bersama,  kita sudah membantu menciptakan iklim yang kondusif di industri yang sarat modal, penuh resiko  namun menjanjikan ini. Kita menghimbau seluruh pihak untuk berhenti mengeluarkan statement statement yang merupakan negative campaign kepada investor kita yang justru kita perlukan kehadirannya. Serahkan semuanya kepada ahlinya dan perangkat perangkat yang sudah ditetapkan Pemerintah untuk membina, mengawasi dan mengendalikan industri migas ini. Mudah-mudahan kalau semua mengikuti aturan main, tata tentram kertoraharjo bisa tercapai masT: Wah, selain pencerahan yang sampeyan sampaikan, nampaknya terbesit ada keluhan dan curhat dalam statement PakPurwa yang terakhir ini. Memangnya, industri migas ini kurang kondusif iklimnya?. Bukankah industri migas dipandang sebagai komoditi strategis sehingga urusan pengelolaannyapun sepenuhnya berada di tangan Pemerintah Pusat sesuai semangat perudang-undangan dan aturan hubungan hukum Pusat-Daerah kita? Apa masih ada orang yang tidak taat hukum di jaman reformasi ini?J:Itulah pak. Sering orang, atas nama reformasi atau atas nama masyarakat sekitar justru membebani industri ini secara tidak proporsional. Banyak pihak mengklaim dirinya sebagai stakeholder, padahal faktanya hanya snakeholder !!!. Bayangkan mas, pernah hanya karena soal rebutan antar desa mengenai tenaga kerja lokal yang akan digunakan untuk membantu pengeboran, tega-teganya rig diblokir tidak boleh masuk lokasi. Anda tahu kerugiannya? Bisa jutaan dolar. Nah kalau operating cost meningkat karena ini, pihak yang memprovokasi pemblokiran jalan itu  tidak bertanggungjawab. Pada tataran yang lebih tinggi juga sering terjadi hal demikian. Ada suatu daerah – yang atas nama otonomi – mengaitkan pemberian ijin lokasi pengeboran dengan mewajibkan Kontraktor menyimpan satu milyard rupiah per titik pengeboran di suatu bank yang ditentukan kepala daerah yang bersangkutan. Bukankah ini sudah berlebihan? Dimana logikanya, kontraktor atau istilah saya di atas, seorang penggarap harus menyetor sejumlah uang untuk bisa menggarap lahan kita sendiri, sedangkan resiko ketidakberhasilan ditanggung penggarap itu sendiri?. Kemudian, secara legal dan peraturan perundang-undangan, lalu dimana perlindungan industri ini, kalau setiap aparat pemerintahan merasa berhak menafsirkan dan membuat peraturan yang akan membebani industri ini?. Saya tidak bisa bayangkan nanti kalau misalnya sebuah RT memperkenalkan peraturan atas nama masyarakat mewajibkan perusahaan Kontraktor untuk memberikan sejumlah kompensasi tunai atas nama kebisingan atau entah apalah, padahal industri ini sudah mengikuti kaidah-kaidah kesehatan dan keselamatan lingkungan serta amdal misalnya. Atau satu unsur Pemda tertentu  atas nama kreativitas tertentu melakukan pemajakan (untuk tidak menyebut pemalakan) tambahan atas setiap barel minyak yang dihasilkan, padahal dalam aturan Kontrak dengan Pemerintah Pusat telah jelas, komposisi pembagian hasil masing-masing pihak. Dimana kepastian usaha dan berusaha itu ? Anda tahu, dengan campaign negatif itu, bagaimana persepsi para investor dan calon investor sekarang?   T: Bagaimana itu?J: Indonesia cenderung menjadi negara yang xenophobic (serba alergi dan memusuhi yang asing), iklim usaha cenderung tidak business-friendly, ada pula yang menganggap bisnis itu identik dengan penipuan, dan lebih menonjolkan untuk memerah daripada membesarkan bisnis. Pada hal kita ini bersaing untuk mendapatkan investasi dengan negara lain. Vietnam, China, Malaysia adalah pesaing kita.  Dan modal itu akan hinggap pada aroma keharuman iklim investasi yang memberi kepastian berbisnis dan berusaha. Ini bukan kata klise Pak. Marilah seyogianya Pemerintah, masyarakat, pengamat termasuk pers dan para pelaku bisnis bergandengan tangan, bahu membahu dalam nuansa kemitraan positif demi kemaslahatan bersama.T: Saya jadi malu ini Mas. Ketika Pemerintah Pusat berusaha menampilkan etalase iklim berusaha yang sudah kondusif kepada para tamunya dari manca negara, koq malah aparat di bawahnya kurang mendukungJ: Marilah optimis. Anggaplah kita ini baru belajar berdemokrasi. Saya percaya, dengan penjelasan di atas, sampeyan itu, sebagai pengamat yang suaranya didengar masyarakat, dapat membantu dengan tulus dan ikhlas, untuk memberi pencerahan bahwa soal cost recovery itu adalah hal biasa saja, perangkat aturan mainnya sudah jelas. Jangan kita jadikan industri yang memberi harapan banyak, serta yang menyumbang signifikan ke APBN kita hanya dijadikan mainan genit statement kosong dan komoditi politik jangka pendek sesaat ya mas. Lidah yang tajam adalah ibarat pisau beracun yang penawarnya susah dan lama ditemukan. Jangan kita biarkan mereka mempermainkan emosi rakyat demi popularitas dan agenda sendiri.  Saya percaya kebajikan  dan integritas sampeyan itu lhoT&J: :. Semoga ya … (Keduanya berjabatan tangan dengan erat, sementara Mat Amat bathinnya bergelora  untuk segera meluruskan dan mengembalikan mereka-mereka yang penyesat, tersesat atau disesatkan  ke jalan yang benar  

Jakarta,         Desember 2006

Sampe L. Purba